Gambar 1 : Pameran ragam kain tenun di Bentara Budaya, Jakarta doc. Penulis
Weaving is a clot with
a soul.
Selembar kain
yang berjiwa. Mungkin
itulah makna yang tersirat dalam selembar kain tenun. Ada jiwa yang seolah
hadir dalam selembar tenun. Karena tenun dihasilkan dari untaian doa, kesetiaan
dan ketekunan serta mata dan hati yang selalu terjaga. Karena tenunan tidak
selesai dalam sehari dua hari, namun bahkan berbulan-bulan dan bertahun-tahun.
Maka
berbahagialah apabila bisa memakai selembar kain tenun Indonesia yang ditenun oleh
tangan-tangan terampil yang setia diseluruh pelosok nusantara yakni negeri Indonesia
yang kaya akan khazanah wastra berupa kain tradisional di nusantara dengan
motif dan warna yang indah beragam.
Kain
tenun tradisional tercipta dari tangan-tangan terampil para permepuan penenun. merupan
warisan budaya yang sangat berharga dan harus dijaga eksistensinya. Karena dalam selembar tenun kita dapat melihat
kekayaan warisan budaya, tidak saja dilihat dari segi teknik dan aneka corak
serta jenis kain yang dibuat, tetapi secara mendalam dapat tersurat dan
tersirat berbagai macam fungsi dan arti kain dalam kehidupan masyarakat, yang
mencerminkan tentang kepercayaan, adat istiadat, cara berfikir, identitas dan
jati diri suatu bangsa yang berbudaya.
Gambar 2 : Ragam motif kain tenun di Bentara Budaya, Jakarta doc. Penulis
Seperti diketahui pertenunan (pakaian) tradisional
diperkirakan telah dimulai sejak masa Neolitikum (Prasejarah), dimana ditemukan
bukti-bukti adanya temuan dari benda-benda prasejarah prehistoris yang
umurnya lebih dari 3.000 tahun yang lalu. Bekas-bekas peninggalan pembuatan
pakaian ini ditemukan pada situs Gilimanuk, Melolo, Sumba Timur, Gunung Wingko,
Yogyakarta, dan lain-lain. Di daerah ini
ditemukan teraan (cap) tenunan, alat untuk memintal, kereweng-kereweng
bercap kain tenun dan bahan yang terlihat jelas adanya tenunan kain terbuat
dari kapas.
Perkembangan tenun memiliki
sejarah penting di Indonesia
yang menunjukkan talenta dan kreatifitas para generasi terdahulu di nusantara. Kain
tenun tradisional Indonesia secara
dominan banyak dipengaruhi oleh negara
India, Persia, Cina, Eropa Pada masa klasik, juga dipengaruhi oleh beberapa
negara ASEAN seperti Vietnam, Myanmar, Thailand, Cambodia, juga ikut
mempengaruhinya. Pengaruh-pengaruh
tersebut selain tampak pada ornamen atau ukiran bangunan, candi,
lukisan-lukisan kaca, nyanyian-nyanyian, dan sebagainya. Pengaruh Cina yang
masih nampak jelas sampai saat ini adalah bentuk bangunan tersebut terlihat
seperti pagoda Cina, baik dari bentuk, ekspresi hingga ukirannya. Pengaruh lain
nampak juga pada kain seperti kain bermotif burung poenix.
Penggambaran manusia bahkan binatang kera pada relief di candi-candi seperti
Borobudur dan Prambanan (adegan Sugriwa-Subali) abad 8-9 digambarkan memakai
pakaian. Bahkan seorang antropolog dalam bidang wastra, Mattiebelle
Gittinger penenun sumba mampu keluar
dari pakem garis-garis pada lungsi di Indonesia
Gambar 3 : Hasil Kerajinan Dompet dari Pengrajin tenun NTT di Bentara Budaya, Jakarta doc. Penulis
Pada
zaman prasejarah pakaian berfungsi sebagai pelindung badan dari panas dan
dingin, serta gangguan serangga dan benda-benda tajam. Bahan yang digunakan
masih sangat sederhana, seperti kulit kayu, kulit binatang, serat, daun-daunan,
serta akar tumbuh-tumbuhan. Alat yang digunakan untuk membuat pakaian berupa
alat pemukul dari bahan kayu atau batu, bentuknya persegi panjang dan terdapat
beberapa garis di tengahnya.
Pembuatan
pakaian dari kulit kayu memerlukan pengalaman dan pengetahuan, setelah dipilih
jenis pohon keras dan mempunyai serat kayu yang panjang, selanjutnya pohon
(kayu) dikuliti, kemudian serat kayu direndam air agar lunak. Dengan pemukul
batu maka kulit kayu dibentuk menjadi kain. Sisa tradisi pembuatan kain semacam
ini masih ditemukan di daerah Sulawesi Tengah yang disebut “Fuya” dan di Irian
disebut “Capo”.
Dalam
prasasti Jawa Kuno dapat ditemukan istilah-istilah yang memberikan gambaran
tentang adanya pertenunan di masa lalu. Pada prasasti Karang Tengah berangka tahun 847 (kol. Mus Nas No D 27)
terdapat tulisan “putih hlai 1 (satu) kalambi” artinya kain putih satu
helai dan baju. Pada prasasti “Baru” tahun 1034 M disebut kata Pawdikan
artinya pembatik atau penenun. Pada prasasti “Cane” tahun 1021 M dan prasasti
dari Singosari tahun 929 M (kol. Mus Nas No 88) terdapat istilah “makapas”
atau madagang kapas. Dalam cerita rakyat yang ada hubungannya dengan pertenunan
adalah cerita Sang Kuriang, seorang tokoh penting dalam cerita itu yaitu Dayang
Sumbi yang pekerjaannya sehari-hari adalah menenun. Pembuatan pakaian pada masa
lalu dapat petunjuk pada relief “wanita sedang menenun” yang dipahatkan pada
umpak batu abad 14 dari daerah Trowulan, sekarang tersimpan di Museum Trowulan,
Jatim.
Teknik
pembuatan tenun
Gambar 3 : ATBM yang dipajang pada Pameran ragam kain tenun di Bentara Budaya, Jakarta doc. Penulis
Teknik
pembuatan tenun dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu teknik dalam
membuat kain (alat tenunnya) dan teknik membuat hiasan. Ada dua hal lagi yang
sangat penting yaitu mempersiapkan pembuatan benang dan pembuatan zat warna.
Pembuatan
benang secara tradisional dengan menggunakan pemberat yang diputar dengan jari
tangan (Jawa: diplintir), pemberat tersebut berbentuk seperti gasing terbuat
dari kayu atau terakota. Di Indonesia bagian barat (Sumatera, Jawa, Bali,
Lombok) ada cara lain membuat benang dengan menggunakan “Antih,” alat ini
terdiri dari sebuah roda lebar yang bisa diputar berikut pengaitnya (Jawa:
ontel) untuk memutar roda tersebut. Bahan membuat benang selain kapas, kulit kayu, serat pisang, serat nanas,
daun palem, dsb.
Pembuatan
zat warna pada masa lalu terdiri dari dua warna biru dan merah. Warna biru
didapatkan dari indigo atau Mirinda Citrifonela atau mengkudu. Selain itu ada pewarna dari tumbuhan lain
seperti kesumba (sono keling).
Ada
dua wilayah pembagian alat tenun, pertama alat tenun Indonesia bagian timur
Pertama, penenun duduk di atas tanah di luar rumah, di
tempat teduh atau di lantai rumah, dengan mengaitkan salah satu alat tersebut
pada tiang. Kedua, alat tenun
Indonesia bagian barat (Jawa-Bali), di daerah ini terdapat alat tenun disebut
“Cacak” yaitu dua buah tiang pendek yang diberi belahan untuk menempatkan papan
guna menggulung benang yang akan ditenun, alat ini biasanya ditempatkan pada
sebuah “amben” yaitu balai-balai terbuat dari bambu.
Goncangan
di bidang produksi kain tradisional terjadi pada waktu adanya revolusi
pembuatan kain tradisional pada sekitar tahun 1911, ketika pemerintah Hindia
Belanda mengintrodusir Alat Tenun
Bukan Mesin (ATBM). Alat ini terbuat
dari kayu, dimana digunakan torak-torak yang dihubungkan dengan tali, sehingga
apabila salah satu alat tenun digerakkan, maka secara otomatis alat lainnya
akan bergerak. Alat ini hanya dapat untuk membuat kain sederhana, seperti kain
polos, lurik, ikat, dan sebagainya.
Pakaian
selain sebagai pelindung tubuh, juga berfungsi sebagai keindahan atau estetika
dengan melindungi bagian-bagian tertentu. Pakaian secara luas mempunyai arti
dalam segi sosial dan ekonomi, sebagai benda yang dapat diperjualbelikan.
Pakaian dipertukarkan untuk memperluas hubungan antar tempat, daerah maupun
negara, memperluas hubungan perdagangan, mendatangkan keuntungan bagi seseorang
atau kelompok, negara dan bangsa. Pakaian dapat menunjukkan atau melambangkan
status atau kedudukan seseorang.
Tenun
Ikat & Kain Tradisional lainnya
Tenun
ikat adalah kain tenun
yang dibuat dengan teknik tenun di mana benang pakan, lungsi atau dua-duanya
dicelup sebelum ditenun, benang-benang yang diikat tidak kena warna, sehingga
setelah dilepas pengikatnya akan timbul pola-pola yang diinginkan. Kain ikat lungsi juga ada yang
dikombinasikan dengan hiasan manik-manik.
Kain
songket adalah kain
tenun yang dibuat dengan teknik menambah benang pakan, hiasan dibuat dengan
menyisipkan benang perak, emas atau benang warna di atas benang lungsi,
kadang-kadang dihiasi dengan manik-manik, kerang atau uang logam. Di Palembang
kain songket ditenun dengan benang emas atau perak yang dikenal dengan nama
Tenun Songket Palembang, kerajinan ini dimulai sejak zaman Sriwijaya. Beberapa
abad yang lalu kerajinan ini merupakan kewajiban bagi para remaja menjelang
mereka mulai berumah tangga. Kain ini dipakai untuk upacara adat, umumnya
dipakai oleh kaum wanita dalam upacara perkawinan dan oleh para penari. Pada
masa yang lalu sarung songket “Lepus” terbuat dari sutera dihiasi dengan benang
emas, hanya dipakai oleh putri-putri raja dalam upacara kebesaran.
Kain
lurik adalah cara
membuat kain tenun dengan hiasan atau lajur garis membujur. Pada masyarakat
Jawa terutama di daerah Probolinggo selendang lurik “Tulak watu” dipergunakan
untuk upacara tujuh bulanan (Jawa: tingkeban/mitoni) serta untuk meruwat
(ngruwat). Upacara tingkeban merupakan selamatan dilakukan oleh seorang wanita
yang pertama kali hamil tujuh bulan, dengan dimandikan oleh seorang dukun.
Dalam upacara wanita hamil tersebut sambil mengatakan: “Kalau laki-laki
mudah-mudahan seperti Kumajaya dan kalau wanita hendaknya seperti Dewi Ratih.”
Kain lurik bermotif tertentu mempunyai kekuatan magis yang dapat menghilangkan
roh jahat, menyembuhkan penyakit, menghindarkan seseorang dari nasib jelek dan
sebagainya.
Kain
batik merupakan kain
yang dibuat dengan teknik hias pada kain putih dengan memakai malam atau lilin.
Teknik hias pada kain putih yang dilukis dengan canting atau cap
kemudian direndam dalam bahan celupan warna. Teknik pembuatan batik pada
mulanya menggunakan bahan ketan sebagai reist-dyed (malam) dalam
proses pembatikan dan alat semacam pena sebagai cantingnya, batik ini disebut
dengan batik “Simbul.” Perkembangan selanjutnya ditemukan malam lebab, lanceng
sebagai pengganti bubur ketan, kemudian dikembangkan menjadi lilin batik dan
alat canting tulis.
Seni
batik diperkirakan telah ada di Indonesia sejak abad 12 M, pada masa itu orang
telah menemukan bahan asli perwarna kain yaitu kulit mengkudu, kulit pohon
tarum, kulit kayu dan sebagainya. Pada tahun 1815 ditemukan alat stempel
berukiran pola-pola batik terbuat dari tembaga sebagai alat batik cap.
Hiasan
pada kain adat mencerminkan unsur-unsur yang sangat erat hubungannya dengan
kepercayaan, pemujaan kepada leluhur, pemujaan terhadap keagungan alam, serta
dapat menunjukkan status sosial bagi pemakaiannya. Batik dengan hiasan sido
mukti artinya semoga megah digunakan oleh pasangan temanten (pengantin),
batik corak truntum dipakai oleh pasangan orang tuanya.
Setelah
masuknya pengaruh dari negara-negara lain seperti India, Arab, Cina, Eropa
tiap-tiap daerah mempunyai karakteristik tersendiri. Beberapa pusat batik di
Jawa masing-masing mempunyai ciri khas, batik Pekalongan mempunyai warna
cemerlang dengan motif dipengaruhi kebudayaan Cina dan Eropa. Batik Jogja dan
Solo kebanyakan berwarna sogan coklat.
Kain jumputan
atau kain pelangi merupakan kain dengan teknik hias dengan cara
mengikat kain pada waktu akan dicelup ke dalam celupan warna, kemudian setelah
selesai dibuka pada bagian-bagian yang diikat membentuk lingkaran-lingkaran
atau bunga-bunga. Di daerah Solo dan Jogja kain jumputan dipakai untuk
selendang, kemben, ikat kepala dan ikat pinggang.
Tenun Untuk Kehidupan
Tenun Nusantra
Perjalanan
kain tenun sebagai kain tradisional di Indonesia sangat beragam dan digunakan di berbagai pelosok nusantara sebagai pakaian sehari-hari, acara adat, pernikahan hingga kematian. Misalnya kain
ikat ganda disebut juga kain Gringgsing di Bali selain dianggap mempunyai
kekuatan untuk dapat menyembuhkan penyakit, juga dipakai untuk upacara potong
gigi seorang gadis. Kain
rongkong di Toraja dan kain hinggi di Sumba digunakan untuk upacara kematian.
Ragam hias tenun di daerah Pandai Sikek bersumber dari alam lingkungan sesuai
dengan ungkapan “alam terkambang jadikan guru,” misalnya bentuk tumpal disebut pucuak
rabuang, bentuk pilin ganda disebut itik pulang patang.
Di
daerah Batak dari seseorang dalam kandungan hingga wafat. Tenun menjadi saksi karena tenun ulos dipakai pada momen kelahiran, pernikahan hingga kematian, bahkan seorang yang hamil menerima ulos ni Tondi dari
orangtuanya untuk diselendangkan di bahunya, melambangkan pemindahan kekuatan
dari orang tuanya kepada anaknya. Sedangkan di Kalimantan kain adat bermotif
naga, burung atau abstraksi dipakai dalam upacara menanam tanaman agar hasilnya
berlimpah ruah. Dan d Lampung pada upacara pengangkatan kepala adat dan upacara
daur hidup digantungkan kain kapal, sebagai lambang perjalanan hidup manusia
dari lahir sampai meninggal, seperti kapal yang bergerak dari satu tempat ke
tempat lain.
Kain
tradisional juga digunakan sebagai perlengkapan perkawinan atau “antaran” dari
rumah laki-laki ke rumah wanita. Di daerah Bali kain songket lamak
digantungkan di pura dan dipakai untuk upacara Galungan.Sampai
saat ini kain tradisional terus digali dan dikembangkan, misalnya dengan cara
membuat tenun adat untuk keperluan upacara adat atau upacara resmi. Lebih
membahagiakan lagi bahwa perancang mode saat ini banyak menggunakan kain-kain
tradisional untuk peragaan busana mereka, baik di dalam maupun di luar negeri.
Akhir-akhir banyak kegiatang yang mengkampanyekan tenun. Salah satunya
adalah ” ”Weaving For Life” yang bertujuan untuk meningkatkan pemberdayaan
masyarakat. Baik dari segi ekonomi maupun sosial. Mengembangkan potensi tenun,
dan memperluas jaringan kerja budaya adalah merupakan satu upaya dalam
pengembangan ekonomi kreatif.
Referensi berbagai sumber
Judi Achjdi dan Bennt Gratha, Wastra
Sumba : Wrisan Dunia dari Indonesia
Boenga, Sejarah Kain Tenun Indonesia
www.kompas.com