Puisi-Puisi Edrida Pulungan*
Lafaz Cinta dalam Nada
Cinta engkau nada dalam denting halus simponi jiwa
Engkau hadir tiada
terduga
Mengetuk pintu
yang terkunci rapat
Namun terbuka
perlahan dengan senyuman hangat
Cinta terlafazkanlah
Ia
Dalam genggaman
hangat jemari manisnya
Hingga indahnya nada
rasa berpadu harmoni
Terbayang kenangan
di pelupuk mata
Kedua hati
berlomba menuju bahagia
Seperti jantung
yang seolah berhenti berdetak
Menanti jawabnya
hingga legalah ia
Ketika tanya
terjawab sudah
Lihatlah Ia
Kekasih hatimu
yang selama ini kau tunggu
Engkau masih ingat
ceria senyumannya
Meski pernah ada luka tergores disana
Meski pernah ada luka tergores disana
Namun sembuhlah Ia
Dan kuat hatinya memberi cintanya
Untuk kekasih
terhebat
yang tahu membaca
jiwanya
dalam
lembaran-lembaran rasa
Ingatkah kerlingan
matanya tersipu malu menatapmu
Terkenang olehmu ia dan hadirnya selalu abadi setelah
senja
Kemarin butiran
bening dan hangat jatuh dari sudut
matanya
Melepasmu dalam
doa dan hasrat cinta yang selalu ada
Menunggu pelukan
yang menghangatkan jiwanya
Lalu seperti apa
cinta menampakkan pesonanya
Seperti apa cintu
mewujudkan keanggunannya
Seperti apa cinta
meneguhkan kekuatannya
Seperti apa cinta
menyatukan asa
Itulah cinta
Akhirnya kau
dapatkan juga
Karena hadirnya sungguh
nyata
Karena katanya
kesungguhan rasa
Meski terasa lama
dinanti di gerbang masa
Namun dia akhirnya
akan datang jua
Sungguh kisah
cinta tiada terduga hadirnya
Apakah engkau yang
pertama dan terakhir untuknya
Rasanya tiada
terwakilkan oleh aksara
Rindu katanya akan
larut sedalam arus laut
Hati katanya akan mengalir bagai anak sungai ke palungya
Lalu kenapa tak
kau sambut cintanya
Meski bagimu
semusim saja
Namun cintanya tak
akan berpaling kehati yang lain
Katanya lagi
melepasmu pergi
Lalu dekaplah
rindu yang selalu meminta tulus hadir
Dan temukan
harmoni di kala sunyi mengetuk
Riuh gemuruh jiwa
akan tenang dan damailah ia
Karena cinta tak
akan membiarkanmu menunggu lama
Binar dimata tak
akan sembunyi
Dialah kekasih
yang dijanjikan kan hadir
Bukan Cinta Semusim
Cinta janganlah
hadir semusim saja
Seperti embun
mencumbu dedaunan
Terbitlah seperti
mentari yang setia pada bumi
Meski mendung gelap
menguji langkah yang tertahan
Namun ia akan
tetap sampai ketujuan
Pagi yang bening
Suaranya terdengar
begitu indah
Dalam hitungan
waktu 365 hari
Sewindu berlalu
namun dia tetap mencintaimu
Meski daun
berguguran namun dia cintanya tetap mekar
Cintamu adalah Medali yang kupertahankan
Cinta engkau pergi
kemana
Kemarilah
Hadirkan jiwa
ksatria
Dalam terbit
setelah terbenamnya ragu
Dalam hempasan
semua rasa takut itu
Cinta sejati
seperti medali
Medali yang engkau
jaga dan pertahankan
Menjadi penghuni
bilik jiwamu
Begitu mulia dan
suci ia
Tiada tersentuh
Bagai kristal kaca
dalam etalase
Tiada yang akan
merampas cinta itu darimu
Karena engkau jaga
rasa itu
Hingga di ujung
waktu
Dan kelak engkau
bercerita tentang indahnya pertemuan
Saat cinta itu
bertahan hingga menua
Cintaku yang kau nanti
Sudahlah hentikan
penantianmu
Cukup rasakan di
jiwamu
Penantian itu tak
boleh melarut
Bukankah hati kita
telah terpaut
Yakini aku
bersamamu
Yakin namaku dan
namamu bersanding
Yakini aku adalah
kekasih hatimu
Yang lama kau
tunggu dalam hitungan senja
Aku bukan seperti mereka yang hadirkan cinta
dalam pura-pura
Seperti bianglala
yang nyatanya adalah biasan mentari
Gedung Kura-Kura,
Senayan, 22 Juli 2015
Penulis 21 Buku berasal dari Sumatera Utara, Pendiri Lentera Pustaka
Indonesia dan Pemenang Peringatan 10
Tahun Seri Puisi Jerman Goethe Institute, 2014
Buah perenungan yang dalam. Sukses buat Edrida "The Inspiring Woman".
ReplyDeleteReseptif estetik, saya pahami itu dlm tulisan mbak ed ini. Emosi jiwanya coba berimajinasi jujur mengungkap galau. thema cinta apakah realiz menoreh emosi empiris atau hanya metafor dlm melukis keadaan yg suka tak bersahabat, menuntut paksa, seperti berdemo sambil mengobrak abrik pagar senayan itu...hehheee. tetap berkarya mbak ed.
ReplyDeleteLuar biasa abrar aziz commentnya
DeleteMerdeka
Delete