Orkestra Bisu Setelah Hujan Reda di Cangkir
Kopi Bapakku
Tadi
hujan berjeda
Namun terdengar indah bagai orkestra yang
bisu
Setelah gerimis meningggalkan nada
tingginya
Lalu siapa yang tahu jika jiwaku bergemuruh
Lalu aku berjalan kecil disisi pohon-pohon
tua
Ada rumput hijau lembut bertumbuh
di
akarnya yang kuat
Aku
bersua dua sosok
yang
memberi energi untuk berlari
dalam
seduhan kopi selepas sepi
Lalu
mengalirlah cerita prasasti
dalam
panjangnya mimpi yang tak sedepa
Mengapa mereka dua yang sama tanpa beda
karena
ada genetic spirit disana
Tiba-tiba ku rindu seangkir kopi
Kupanaskan hujan dalam secangkir kopi
Bapakku
Mari menikmati hujan yang membisu kata
ibuku
Sambil mengepang dua rambutku
Ibu mendongengiku tentang rindunya
pada kakekku yang telah tiada
Bapak
mengusap kepala Ibuku
Akupun
meneguk hujan yang menari dalam cangkirku
Maka
tenanglah mereka dalam tenggorakanku
Ternyata secanglir kopi yang kuminum
menganak sungai
Membawaku
pada samudera gelisah
Kenapa
aku masih membisu
saat
aku ditakdirkan menjadi gula dalam kopi Bapakku
Depok, terimakasih Allah, hari baik dengan
jiwa yang melentik ;)
Secangkir Kopi Aceh dan
Kepergianmu
Akulah perempuan paling bahagia itu
Kau ajak aku menikmati secangkir kopi Aceh
Menjelang shubuh yang hampir rubuh
Kita lewati jalan-jalan panjang
Kita berjalan bersisisan
Aku senang bukan kepalang
Ribuan kenangan usang
telah kau ceritakan
begitu panjang
mengalirlah kisah air bah
membawa kisah
kekasih hatimu yang telah pergi
Aku sedih dan pedih setelahnya
Haruskah kisahnya terus diulang diantara
kita
Kusedu kopi aceh yang terasa pahit di
tenggorokan
Kuusap jemari tangan
Memandangmu dihadapan
Ada senyuman yang tertahan
Kenapa engkau tak mampu lupakan dia yang
tiada
Untuk apa aku yang sudah ada
Menemanimu dalam tujuh purnama
Aku adalah seorang pelupa yang setia
Seperti aroma kopi yang mewangi
yang kau
seduh shubuh pagi
Tetap sama rasanya
Pahit namun terkadang terasa manis
diujungnya
Selepas senja
Kudengar khabar berita
Engkau pergi menyusulnya kekasih abadimu
Tinggallah aku dengan kopi yang semakin
pahit dirasa
Dan airmataku membuatnya asin tak terkira
Banda Aceh, 2011
Tiga
Bungkus Kopi Gayo
Kuterima tiga bungkus kopi gayo
Minumlah dikala pagi menyapa
Hangatkan hatimu dengan rasanya
Katanya pada suatu ketika
Tiga bungkus kopi kuterima
Entah apalah maksutnya
Pemberian seorang pemuda Aceh yang terkenal
di kampungya
Karena kesetiaanya pada seni budaya
Dia bahagia berbaur dalam deru ombak pantai
Dan sesekali melukis sketsa sepi dalam
kesendiriannya
Apakah yang membuat dia setia di kampungnya
Kisahmu mengalir
Akulah pemuda bahagia ” katamu
Kulukis beribu wajah
Kutulis beribu bait-bait puisi
Kutabuh rebana dalam rinai hujan
Berhenti meratapi kesedihan
Kunikmati hari merawat ibu
Merawat cinta
Juga merawat kenangan
Kuingat kopi membawa kebersamaan yang indah
bersama mereka yang tersayang yang pergi
Setelah kisah seribu rasa dalam secangkir
kopi
diberanda rumah
di cafe- cafe tua
Setelah tsunami itu jiwaku runtuh
Terputus tali kasihku menjadi kelabu
rasa kopi selalu membangkitkan ingatan
rindu
katamu sambil tersenyum tersipu
Tiga bungkus kopi ini hanyalah awal dari kisah
kita
Maka sudikah kamu kelak
Menikmati kopi setiap pagi bersamaku
Hingga kita mulai lembaran baru
Meulaboh,
27 Agustus 2016
Seattle, Secangkir Kopi
dan Jejak Ibu Obama
Hujan selalu riuh di kota ini
Begitu damai bagai orkestra
Perempuan Amerika itu masih bermimpi
Seattle kota pengharapan untuk masa
depannya
Masa remaja yang indah
Akankah dia akan terus menetap di kota kopi
Menyaksikan anak-anaknya bertumbuh kelak
Sambil menikmati secangkir kopi
Di kota sturbuck kedai pertama kali berdiri
Perempuan itu mendongeng tentang tokoh
dunia
Bercangkir kopi dia habiskan yang sudah
tersisa ampasnya
Apakah Obama kecil sudah pulas dalam
pelukan
Matanya menerawang jauh
Ingin mengembara kenegeri kopi
Ingin menjadi petualang ilmu
Stanley Ann Dunham nama perempuan itu
menunggu hujan reda dan menyelesaikan
mimpinya
Entah apa yangmenghantarkannya ke negeri
kopi
Konon dari negeri ini dikirimkan bijih kopi
terbaik
dari tangan legam petani kopi Aceh hingga
Sumatera
dari negeri Indonesia dalam gugusan Asia
Tenggara
Perempuan itu jatuh hati
Cintanya pada ilmu dan aroma kopi
Seperti cintanya pada lelaki jawa pendiam
nan cerdas menawan wati
Lelaki yang
kelak menemaninya menyusuri dusun
dan kampung
juga singgah di warung-warung pinggir
malioboro demi secangkir kopi
serta
aromanya yang tak mau Indonesia
Cinta bertumbuh dan mekar
dalam riuhnya obrolan selepas seduhan kopi
lembar-lembar disertasi hanya jadi saksi
Permpuan itu menjadi seorang doktor
Antropologi
dan terlahirlah malaikat kecil perempuannya
berderah setengah merah putih yang juga mencinta
ilmu dan kopi
dan berkunjung dalam nafak tilas sang Ibu
di kota sultan
Kota nan damai masyarakay jawi, Jogjakarta
Seattle mengirimkan jiwanya menuju asal
negeri kopi
Tak pernah dia bermimpi menuju negeri
khatulistiwa
Konon kisah rempah-rempahnya penuh historia
Perempuan itu sang rahim keberanian
Ibu sang presiden ke 44 amerika
yang menyukai secangkir kopi, nasi goreng,
bakso
di warung-warung tenda yang beralaskan
rembulan
Residen
Dubes US, Senopati, Juli 2016
Kepada Fikar W Eda
Selepas senja di Kota Ende
Kusaksikan rumah cinta di pengasingan
Miniatur ruang dan benda
Warisan sejoli Soekarno dan Inggit dalam romansa
Kisah cinta yang bermula
dari segelas kopi tubruk
dan rinai hujan kota kembang yang telah sunyi
Hingga
beradu gelisahdan rinai hujan kota kembang yang telah sunyi
Kapan Indonesia berkiprah di mata dunia
Lamunan panjang dan jiwa seni tak pernah menepi
Mengantarkankannya dalam naskah tonil
Menghibur diri dengan alunan musik biola tua
Bergelas-gelas kopi tubruk telah dihabiskan
Kertas berisi naskah bertebaran di meja
Aroma cerutu dan wangi kopi menyatu
Dengan aroma tanah yang tersiram
Sampaikan salamku pada para penyair bangsa
Aku ingin habiskan bergelas kopi tubruk
singgah di Takengon di kota Banda Aceh
dan menikmati kopi tubruk hasil racikan pemuda Aceh
Selepas ini aku mau sampaikan
Indonesia berjasa pada masyarakat Banda Aceh
Karena kopi juga kehangatan konfrensi Asia Africa tercinta
Dalam fatwa secangkir kopi yang berdiplomasi
Banda Aceh, September 2014
0 comments:
Post a Comment