Tuesday, July 19, 2016

Sebait Puisi dan Kampanye Sang Calon Presiden



07.00 wib

Dindaning membaca koran pagi dengan wajah berkerut. Perempuan asli peranakan Batak dan Melayu itu terlihat membalik lembaran koran pagi dengan cepat. Sambil menyeruput teh manis hangat dan sesekali meyuap nasi uli kemulutnya.  Dia terus membolak balik halaman dan tak menemukan kolom yang dia cari.

uppph " suaranya menggumam pelan

Halaman satra dan budaya sukses hilang sejak semuaberita-berita politik semakin menguat di harian  Nusantara Post. Mungkin politik lebih seksi dan menggiurkan ketimbang barisan bait puisi yang metaforik, pikirnya.Koran lokal penuh dengan berita-berita politik yang makin memanas dan pertarungan para pimpinan daerah tersebar disetiap lembar juga berita para calon pemilihan presiden dengan photo-photo yang beredar di halaman koran lemgkap dengan profilnya.


Din, jadi ikut ibu ke rumah pamanmu" suara Bu Niar membuyarkan lamunan Dinda
" Iya bu, sebentar, saya belum mandi"
" oalah ini sudah jam berapa Din, apa ibu tinggal saja, kamu menyusul ya"?
" sama-sama aja ya Bu"
" waduh gimana ini anak perempuan harusnya dari pagi sudah siap masak dan beres-beres rumah, ini malah menghayal terus, menulis puisi terus, saya bingung kenapa lulusan S2 Hubungan Internasional bukannya kerja di kantoran, kedutaan, perusahaan malah kerja gak jelas di perpepustakaan, duh Dinda..Dinda"

" bu, Din sudah siap"
Bu Niar melihat puterinya sudah rapo dengan kerudung hijau tosca dan baju tunik putih, senyumnya mirip almarhum suaminya yang sudah tiada sejak 10 tahun lalu .

" lho jadi sedari tadi kamu sudah berdiri di situ toh"
" Ya bu, Dinda juga sudah dengar semua aspirasi Ibu, akan Dinda tampung dalam otak sebelah kanan dan nanti Dinda buatkan ibu puisi selepas senja"
" Dinda..dinda apa bisa kenyang sama puisi-puisi yang kamu tulis itu nak" Wajah Bu Niar memerah antara menahan senyum dan kesal. Tapi jauh dilubuk hatinya dia bangga dengan puteri pertamanya yang sudah menyelesaikan S2 dari beasiswa Pemerintah daerah dan membantu dua orang adiknya hingga sarjana dari honornya menulis artikel dan puisi di koran nasional dan daerah. Dindaning mirip dengan eatak suaminya yang kritis dan romantis. Karir terakhir suaminya adalah Kepala Humas di Kantor daerah. Jika waktu senggang suaminya sering menulis puisi dan mengirimkan ke kantor daerah.

**

0 comments:

Post a Comment