Gambar : ilustrasi bukit Simarsayang doc www.paronomia.com
Angin berhembus
sedikit kencang. Daun-daun pohon pinus berguguguran. Bunga-bunga liar nampak
mekar dibukit itu. Pepohonan rindang menambah hijaunya bukit Simarsayang. Bukit
yang artinya kasih sayang. Bukit yang penuh kenangan di kota aku dilahirkan.Padang
Sidimpuan yang tak terlupakan, kota sejuk yang terkenal dengan kota salak.
Masa kecil dan
remajaku ku yang indah. Seolah potongan-potongan cerita-cerita tujuh belas
tahun lalu kembali hidup lagi dalam ingatanku. Kenangan tentang impian seorang sahabat perempuan yang rumahnya juga tak jauh
di bawah bukit Simarsayang, dipinggir jalan besar. Dialah sahabatku Risya juga sainganku di kelas. Risya sosok gadis yang cerdas dan bersahaaja,
namun pemalu padahal dia anak pejabat daerah. Aku kadang kagum padanya.
Aku paling suka
mengambil buah balakka yang terasa pahit dikiri kanan jalan sepanjang tanjakan
empat kilo menuju puncak. Balakka selalu memenehi kantongku. Masa remaja yang
indah, saat aku masih SMP, aku terlahir sebagai remaja kece. Cowok yang hobi
berpuisi dari pada lari pagi J.
Kekuatan lelaki kan bukan hanya pada fisiknya, tapi juga pada lidahnya. Ups,
ini karena minjam baca buku Bapak yang bersejarah “ jas merah” buku koleksinya
semasa aktifis itu. Aku salut Soekarno. Bukan karena dia penakluk wanita tapi
orasinya bro.
**
Sudah berapa putaran Rio ? Kata Bapak
sambil melihat stopwatchnya.
Masih lima putaran Pak. Nafasku
ngos-ngosan. Padahal aku sudah pemanasan namun latihan fisik seperti lari
membuatku hampir nyerah, lebih baik bicara didepan seribu orang. Namun demi
keinginan lulus SMU Unggulan semua kulakukan. Agar Bapak bangga, jagoannya ini
gak kalah hebat dari dia. Hebat dengan catatan maksutnya, bisa menaklukkan hati
ibu, seorang perempuan cerdas yang berprofesi sebagai bidan. Mungkin kalau
Bapak gak jago ngomong dan bisa lobby ke kakek. Gak mungkin juga ya. Secara
Bapak gak tampan-tampan banget. Ups, jadi ngomongin orang tua. dosa ya.
“ kamu harus banyak pemanasan, biar
lebih ringan” kata Bapak
Kami menuruni bukit Simarsayang, hari
sudah mulai siang. Bapak memang selalu menyediakan waktunya untukku agar bisa
lulus SMU Unggulan milik sang Jenderal, SMU Matauli Sibolga. Huh perjuangan
belum selesai
Aku dan Bapak melewati rumah Aleyda,
mataku melirik kekiri. Kalau-kalau dia sedang menyapu halaman rumahnya di
minggu pagi yang cerah. Namun tak kelihatan juga
“ kamu lihat apa, sarapan dirumah aja”
kata Bapak
“ wah boleh Pak, tapi kita singgah
depan rumah teman saya pak Risya, saya mau minjam komiknya”
“minjam buku pelajaran apa mau ngajak
makan?
“hahha, Bapak macam tak tau aja, bapak
kan juga pernah muda ” jawabku klasik
“ ya, ya, tapi Bapak ngak mau kamu gak
fokus sekolah, jangan pacaran , kalau masih tergantung sama orangtua;
“ jleb” kata-kata Bapak dahsyat
banget.hiks
Rasanya aku bisa lari kencang dengan
muka malu mirip kepiting rebus didepan sosok Bapakku ini. But anyway aku kan
pejantan tangguh
“ Bukan Pak, kemarin saya buat puisi. Terus
kalau puisi saya bagus, saya dikasih pinjam komik risya”
“ kapan-kapan aja, masak bapak jadi
tukang nepuk nyamuknya”
“ wah, Bapak Payah”
**
Risa berdiri didepanku, dia itu manis
dengan tanda lahir dibawah matanya. Aku gugup tak tahu mau ngomong apa”
“ sudah kumpulin PR belum”
“ sudah eh belum siap, nomer 7 nya”
“ nih aku sudah, cepetan ditulis,
bentar lagi Bu Nainggolan masuk”
“wah makasih dewiku, eh salah, kamu
memang jago bahasa inggris, tapi semoga kamu lebih jago bahasa jiwaku” eh salah
lagi.
Risa tersenyum, manis sekali.
Aku tak pernah lupa senyumnya.
Hingga kami bersua lagi di Ospek
kampus negeri. Dia anggun dengan hijabnya. Aku gondrong dengan gayaku.
“hei risa, kamu kuliah ambil jurusan
apa”
“ aku ambil ekonomi”
“kamu ambil apa”
“teknik sipil”
“ oh ya, selamat ya’
“ kamu juga”
Tak berapa lama seorang lelaki
berkacamata datang menghampiri risa. Siapa dia, sepertinya aku kenal.teman
alumni sekolah matauli.
“oh Rio, ini kak Reza, kenalin “
“ hai”
“ ap khabar Rio”
“
hai bro”
Wah sudah sudah saling kenal ya “
Wah sudah sudah saling kenal ya “
“ya kami dulu satu sekolahan, alumni Matauli”
Aku gugup , Reza gak terlalu tampan
tapi lebih tinggi dari aku. Rasanya aku ingin lari saja seperti tujuh belas
tahun lalu dan mengajak Risa ke bukit itu dan memberikan puisi terbaikku.
“ sudah ya, aku masuk dulum ada kelas”
Aku tak bisa sembunyikan kecemburuan
dan kekecewaanku. Belum pernah aku jatuh cinta kecuali pada Risa yang sering
ngasih contekan PR dan juga teman satu daerahku. Aku bertemu dia kembali hanya
untuk patah hati.
“ Rio! ”
Risa sayup-sayup memanggilku.aku tak
menghiraukannya pertama kali dalam hidupku. Meski suaranya begitu merdu.
Aku berlari kencang tanpa latihan.
**
Kubuka buku harianku yang masih
kusimpan 17 tahun lalu.Sedikit berdebu warna hijau pupus. Lembaran kertasnya
mulai menguning. Dan ada lembaran dengan pembatas benang merah. Ada nama Rio
dan Risya serta sebentuk gambar hati disana. Aku tersenyum tipis. Risya cinta
pertamaku. Aku suka Risya tujuh belas tahun yang lalu sampai sekarang. Perempuan
sederhana yang selalu tersipu setiap kupandang. Namun aku tak pernah bisa
mengungkapkan perasaanku hingga kini usiaku sudahdua puluh satu. Huhuhu..
Tapi aku berharap Reza bukan pacarnya.Dan
kenapa pula lelaki itu mengalahkanku dua kali. Saat pemilihan Osis di sekolah
dan mendapatkan hati Risya. Sekeren apa sih dia. Padahal ngomong di depan juga
gak bisa. Batinku meronta.
Aku terkenang kisah di bukit Simarsayang
dan rasa yang belum juga selesai hingga sekarang. Aku menuliskan beberapa
kalimat di lembaran buku harianku.
Risya kita ketemu dipelaminan saja ya :) wajahku pias penuh
harap. Aku mencoba memejam mata semoga mimpiku sampai ke bukit Simarsayang.
Simarsayang, Juni 2014
0 comments:
Post a Comment