Friday, June 13, 2014

Simarsayang dan Kenangan yang tak Selesai



          Gambar :  ilustrasi bukit Simarsayang doc www.paronomia.com


Angin berhembus sedikit kencang. Daun-daun pohon pinus berguguguran. Bunga-bunga liar nampak mekar dibukit itu. Pepohonan rindang menambah hijaunya bukit Simarsayang. Bukit yang artinya kasih sayang. Bukit yang penuh kenangan di kota aku dilahirkan.Padang Sidimpuan yang tak terlupakan, kota sejuk yang terkenal dengan kota salak.

Masa kecil dan remajaku ku yang indah. Seolah potongan-potongan cerita-cerita tujuh belas tahun lalu kembali hidup lagi dalam ingatanku. Kenangan tentang impian seorang  sahabat perempuan yang rumahnya juga tak jauh di bawah bukit Simarsayang, dipinggir jalan besar. Dialah sahabatku  Risya juga sainganku di kelas. Risya sosok gadis yang cerdas dan bersahaaja, namun pemalu padahal dia anak pejabat daerah. Aku kadang kagum padanya.

Aku paling suka mengambil buah balakka yang terasa pahit dikiri kanan jalan sepanjang tanjakan empat kilo menuju puncak. Balakka selalu memenehi kantongku. Masa remaja yang indah, saat aku masih SMP, aku terlahir sebagai remaja kece. Cowok yang hobi berpuisi dari pada lari pagi J. Kekuatan lelaki kan bukan hanya pada fisiknya, tapi juga pada lidahnya. Ups, ini karena minjam baca buku Bapak yang bersejarah “ jas merah” buku koleksinya semasa aktifis itu. Aku salut Soekarno. Bukan karena dia penakluk wanita tapi orasinya bro.
** 

Sudah berapa putaran Rio ? Kata Bapak sambil melihat stopwatchnya.
Masih lima putaran Pak. Nafasku ngos-ngosan. Padahal aku sudah pemanasan namun latihan fisik seperti lari membuatku hampir nyerah, lebih baik bicara didepan seribu orang. Namun demi keinginan lulus SMU Unggulan semua kulakukan. Agar Bapak bangga, jagoannya ini gak kalah hebat dari dia. Hebat dengan catatan maksutnya, bisa menaklukkan hati ibu, seorang perempuan cerdas yang berprofesi sebagai bidan. Mungkin kalau Bapak gak jago ngomong dan bisa lobby ke kakek. Gak mungkin juga ya. Secara Bapak gak tampan-tampan banget. Ups, jadi ngomongin orang tua. dosa ya. 

“ kamu harus banyak pemanasan, biar lebih ringan” kata Bapak
Kami menuruni bukit Simarsayang, hari sudah mulai siang. Bapak memang selalu menyediakan waktunya untukku agar bisa lulus SMU Unggulan milik sang Jenderal, SMU Matauli Sibolga. Huh perjuangan belum selesai
Aku dan Bapak melewati rumah Aleyda, mataku melirik kekiri. Kalau-kalau dia sedang menyapu halaman rumahnya di minggu pagi yang cerah. Namun tak kelihatan juga

“ kamu lihat apa, sarapan dirumah aja” kata Bapak
“ wah boleh Pak, tapi kita singgah depan rumah teman saya pak Risya, saya mau minjam komiknya”
“minjam buku pelajaran apa mau ngajak makan?
“hahha, Bapak macam tak tau aja, bapak kan juga pernah muda ” jawabku klasik
“ ya, ya, tapi Bapak ngak mau kamu gak fokus sekolah, jangan pacaran , kalau masih tergantung sama orangtua;
“ jleb” kata-kata Bapak dahsyat banget.hiks
Rasanya aku bisa lari kencang dengan muka malu mirip kepiting rebus didepan sosok Bapakku ini. But anyway aku kan pejantan tangguh
“ Bukan Pak, kemarin saya buat puisi. Terus kalau puisi saya bagus, saya dikasih pinjam komik risya”
“ kapan-kapan aja, masak bapak jadi tukang nepuk nyamuknya”
“ wah, Bapak Payah”
**

Risa berdiri didepanku, dia itu manis dengan tanda lahir dibawah matanya. Aku gugup tak tahu mau ngomong apa”
“ sudah kumpulin PR belum”
“ sudah eh belum siap, nomer 7 nya”
“ nih aku sudah, cepetan ditulis, bentar lagi Bu Nainggolan masuk”
“wah makasih dewiku, eh salah, kamu memang jago bahasa inggris, tapi semoga kamu lebih jago bahasa jiwaku” eh salah lagi.
Risa tersenyum, manis sekali.
Aku tak pernah lupa senyumnya.
Hingga kami bersua lagi di Ospek kampus negeri. Dia anggun dengan hijabnya. Aku gondrong dengan gayaku.
“hei risa, kamu kuliah ambil jurusan apa”
“ aku ambil ekonomi”
“kamu ambil apa”
“teknik sipil”
“ oh ya, selamat ya’
“ kamu juga”
Tak berapa lama seorang lelaki berkacamata datang menghampiri risa. Siapa dia, sepertinya aku kenal.teman alumni sekolah matauli.
“oh Rio, ini kak Reza, kenalin “
“ hai”
“ ap khabar Rio”
“ hai bro”
Wah sudah sudah saling kenal ya “
“ya kami dulu satu sekolahan, alumni Matauli”
Aku gugup , Reza gak terlalu tampan tapi lebih tinggi dari aku. Rasanya aku ingin lari saja seperti tujuh belas tahun lalu dan mengajak Risa ke bukit itu dan memberikan puisi terbaikku.

“ sudah ya, aku masuk dulum ada kelas”
Aku tak bisa sembunyikan kecemburuan dan kekecewaanku. Belum pernah aku jatuh cinta kecuali pada Risa yang sering ngasih contekan PR dan juga teman satu daerahku. Aku bertemu dia kembali hanya untuk patah hati.
“ Rio! ”
Risa sayup-sayup memanggilku.aku tak menghiraukannya pertama kali dalam hidupku. Meski suaranya begitu merdu.
Aku berlari kencang tanpa latihan.
**

Kubuka buku harianku yang masih kusimpan 17 tahun lalu.Sedikit berdebu warna hijau pupus. Lembaran kertasnya mulai menguning. Dan ada lembaran dengan pembatas benang merah. Ada nama Rio dan Risya serta sebentuk gambar hati disana. Aku tersenyum tipis. Risya cinta pertamaku. Aku suka Risya tujuh belas tahun yang lalu sampai sekarang. Perempuan sederhana yang selalu tersipu setiap kupandang. Namun aku tak pernah bisa mengungkapkan perasaanku hingga kini usiaku sudahdua puluh satu. Huhuhu..
Tapi aku berharap Reza bukan pacarnya.Dan kenapa pula lelaki itu mengalahkanku dua kali. Saat pemilihan Osis di sekolah dan mendapatkan hati Risya. Sekeren apa sih dia. Padahal ngomong di depan juga gak bisa. Batinku meronta.

Aku terkenang kisah di bukit Simarsayang dan rasa yang belum juga selesai hingga sekarang. Aku menuliskan beberapa kalimat di lembaran buku harianku.

Risya kita ketemu dipelaminan saja ya :) wajahku pias penuh harap. Aku mencoba memejam mata semoga mimpiku sampai ke bukit Simarsayang.

Simarsayang, Juni 2014



0 comments:

Post a Comment