Tuesday, July 26, 2016

In Memoriam Chairil Anwar 26 Juli 1922-26 Juli 1922 Prasasti Sang Pujangga dari Sumatera Utara Hingga Leiden


Gambar  1: Chairil Anwar Sastrawan Angkatan 45 Asal Sumatera Utara Doc 2mapa.0rg

Hari ini tepat tanggal 26 juli 2016, hari dilahirkan sang pujangga kebanggaan Indonesia yajni Chairil Anwar yang terkenal dengan sebutan “ Si Binatang Jalang” di Medan yakni tanggal 26 Juli 1922 dari Ayahnya yang bernama Toeloes, yang pada masa itu bekerja sebagai Bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota.  Menurut biografi dan beberapa sumber Chairil Anwar masih memeiliki pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, yakni Perdana Menteri pertama Indonesia. Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Chairil muda harus merasakan sakitnya perceraian orangtuanya ketika ayahnya menikah lagi hingga dia harus ikut ibunya sehabis SMA ke Jakarta.Chairil mulai untuk menulis  puisi  sejak remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan. 


Chairil berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil seorang polyglot sejati yang bisa menguasai ragam bahasa asing yakni bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama dimasa itu, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

“Bukan kematian benar yang menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta”

Kumpulan puisi Chairl Anwar antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949, diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).

Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah: “Sharp gravel, Indonesian poems”, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); “Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); “Only Dust: Three Modern Indonesian Poets”, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);

The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press, 1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993). Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).


Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: “Krawang-Bekasi”, yang disadurnya dari sajak “The Young Dead Soldiers”, karya Archibald MacLeish (1948). Dia juga menulis sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”, yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.


Gambar 2  Kampus Leiden dengan Dinding Puisi " Aku " Karya Chairil Anwar id.wikipedia.org/wiki/Chairil_Anwar 


Bahkan sajaknya yang berjudul “Aku” dan “Diponegoro” juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka. Dan ”Aku ” bukan hanya abadi sebagai puisi yang dibacakan pada kelas-kelas pelajaran Bahasa Indonesia atau acara sastra di Indonesia namun juga di Negara Belanda karena karyanya berjudul ”Aku” terprasastikan di dinding Kampus Leiden Belanda. Sungguh karya tersebut membanggakan Indonesia dan juga pengakuan negeri lain terhadap karya kesusatraan kita.
  

Sepenggal Kisah Cinta Sang Penyair

 

Kisah sang penyair Chairil Anwar ini bermula di Pantai Cilincing, daerah Jakarta Utara. Suatu hari yang cerah di tengah musim penghujan tahun 1943, Chairil yang asik membaca buku tak menyadari ada seorang perempuan memperhatikannya. Perempuan bernama Sumirat ini terpaku memandang Chairil yang tampak asik dengan buku di tangan dan abai dengan keramaian sekitar.

Sumirat, murid dari pelukis Affandi ini hanya mampu memandang hingga di kemudian hari dirinya mampu berkenalan dengan Chairil Anwar. Chairil kala itu hanyalah penyair kere dengan penghasilan tak menentu. Namun rasa cinta Mirat mengabaikan segala kemiskinan dan cibiran orang yang mengatakan masa depan Chairil suram. Mereka menjadi sepasang kekasih selang berapa lama kemudian, seperti tinta dan canvas, seperti kata dan kertas.
Kehidupan mereka tampak indah dan serasi dengan lukisan Mirat yang menemani Chairil, pun puisi Chairil bersama lukisan Mirat. Namun bukanlah hidup jika tidak memberi masalah. Mirat diminta pulang kampung ke Madiun oleh orang tuanya. Chairil berjanji untuk menyusul dan segera melamar Mirat.

Namun jurang si kaya dan si miskin menjadi halangan bagi Chairil untuk bisa bersama dengan Mirat. Hanya lembaran puisi yang mampu ia bawa untuk menemui orang tua sang kekasih. Lamaran itu pun berakhir dengan jawaban, "carilah dulu pekerjaan yang tetap baru nanti kita bicarakan lagi", oleh orang tua Mirat. Dalam salah satu sajaknya berjudul Sajak Putih-buat tunanganku Mirat, Chairil menuliskan:

Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
kucuplah aku terus, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku

Selang berapa lama setelah Chairil pergi kembali ke Jakarta dengan membawa sakit hati karena penolakan orang tua Mirat, pendudukan Jepang berkobar dan kekacauan meluas. Mereka tak mampu lagi saling berkomunikasi hingga kabar pernikahan Chairil mendatangi Mirat pada tahun1946. Chairil masih sempat menuliskan puisi untuk Mirat berjudul Mirat Muda, Chairil Muda, bait terakhir puisi tersebut berisi :

Dianya pada Chairil makin sehati,
Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan chairil dengan deras
Menuntut tinggi tidak setapak berjarak dengan mati

 Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.

Chairil memang pemuja buku dan sastra. Tercatat nama perempuan yang dikaguminya seperti Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun akhirnya cintanya jatuh kepada gadis Karawang bernama Hapsah Wiraredja pada tanggal 6 Agustus 1946 dan Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cera pada akhir tahun 1948. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.  Anak hasil pernikahan Chairil Anwar bernama Evawani Alissa Chairil Anwar.
  

Akhir Hidup Chairil Anwar



Chairil tidak menghiraukan kesehatan dan kondisi fisiknya yang semakin bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.  Namun Chairil anwar tercatat sebagai pelopor Angkatan ’45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia


Sebagai Refleksi mengenang sastrawan Chairil Anwar, saya akan tuliskan puisi mengenang karya-karyanya yang abadi dan kepergiannya di usia muda

Puisiku abadi di lembaran suci

Puisi-puisi itu
Tercecer,terlupa, terbit, terbingkai, terprasasti
Pada lembar lembar kusam dan putih
Lalu menjadi abu abu terbaca olehmu
Engkau pasti mencari bait bait yang hilang
yang tersembunyi di temaram malam
Atau dilarikan matahari
Untuk beribadah esok pagi
Bersama sepotong ucapan selamat pagi

Kirimkan puisi yang abadi
Tuliskan bait terakhir kesayanganku
Di nisanku
Di jiwaku
Atau di lembaran pertama
Setelah hadiah surat Yasin
yang dibacakan untukku
Dengan photo terbaik 
Dengan senyum manisku
Saat aku menuliskan bait pertamaku
Biarkan puisi terakhirku abadi
Pada kata dan mantra terbaik
yang kutuliskan sepanjang hayatku


Juli, 26th,2016,Pejompongan 11


Gambar 3 : Makam Chairil Anwar sang Sastrawan Kebanggaan Indonesia doc.
  id.wikipedia.org/wiki/Chairil_Anwar 


Referensi:



0 comments:

Post a Comment