Photo1: Upacara hari ibu 22 Desember 2014 bersama Staf protokoler setelah mendapat tugas jadi pemimpin upacara di lingkungan sekretaris jenderal DPD/DPR/MPR RI, Senayan
Gerakan
Reformasi Birokrasi merupakan agenda pemerintahan yang bertujuan untuk
penciptaan pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan tidak korup. Pada dasarnya
konsep good governance secara sederhana merupakan proses pembuatan
keputusan dalam lingkungan birokrasi dan pemerintahan dalam melayani
masyarakat. Meskipun perjalanannya tidak selalu mulus. Pelayanan pemerintah
memang belum optimal dan prima, karena masih membutuhkan proses pelayanan yang
baik, Untuk itu kinerja pemerintah untuk melayani publik merupakan memerlukan
langkah-langkah strategis dan berkesinambungan sehingga terwujud masyarakat
yang tertib, sejahtera, adil dan makmur.
Era reformasi menunjukkan adanya
tuntunan masyarakat yang sangat tinggi untuk mendapatkan layanan yang baik dan
terbuka.Salah satu yang paling disorot adalah kinerja pemerintahan. Sehingga
satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengimplementasikan
reformasi birokrasi. Dalam hal ini leading agencynya adalah Kementerian
Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB)
yang harus menjalankan fungsinya sebagai engine of bureaucreatic reform.
Birokrasi publik di Indonesia
memiliki hierarki ketat dan panjang ditambah dengan budaya patrenialistik yang
membuka celah, kondisi dan fenomena asal bapak senang (ABS) dan sikap cari
muka. Namun anehnya indikator ini masih sering dibawa dan dijadikan sebagai
dasar penilaian promosi dan kenaikan karir berdarkan kedekatan (subjektif)
bukan prestasi (objektif). Hal ini merupakan ciri struktur birokrasi weberian
yang menghasilkan patologi birokrasi dan terkadang menjadi celah menjamurnya
korupsi.
Lalu apakah Indonesia bisa berjalan
meski tertatih dan pelan-pelan menuju implementasi meritokrasi sebagai bentuk
pemerintahan atau administrasi di mana para pemimpin dipilih berdasarkan
prestasi atau kemampuan mereka. Terdapat sedikit pemerintahan di dunia yang
didasarkan pada ideologi ini. Contoh modern dari meritokrasi dapat ditemukan di
Singapura dan Inggris. Kedua negara ini menunjukkan tingkat pelayanan publik
yang baik dari pemerintahnya. Tentu saja ulasan ini merupakan opini pribadi
karena setiap warga negara tentu harus berkontribusi dalam ide sebagai bentuk
kepeduliaan yang kelak perubahan itu menuju masa depan negeri kita yang lebih
baik.
Lalu kenapa sistem meritokrasi dalam
mengukur kinerja pemerintahan bisa dijadikan pilihan? Karena kecapakan (merit)
dan keterampilan (skill) dari seorang staf pemerintahan sangat dibutuhkan untuk
membenahi berbagai kebutuhan masyarakat yang semakin dinamis. Hal ini juga
secara langsung meningkatkan kepercayaaan masyarakat dan perekonomian bangsa. Dan
negara dengan tingkat Government Index yang baik biasanya memiliki
prospek bisnis dan investasi yang baik secara tidak langsung.
Salah satu
upaya pelayanan publik yang mulai dibenahi seperti e-KTP, pengurusan perizinan
one stop service, tax online. Dalam Hal ini PBB mengembangkan indeks
pengembangan e-government (e-government development index-disingkat EGDI)
sebagai dasar pemeringkatan negara-negara yang menjadi anggota PBB dalam
mengukur kemauan dan kapasitas administrasi pemerintahan untuk menggunakan TIK
untuk menyediakaan memberikan layanan publik. EGDI untuk edisi 2012 diukur
berdasarkan tiga sub index yaitu online service index, telecommunictaion
index, dan human capital index. Berdasarkan data government
development index-t tahun 2003, Indonesia sebagai negara ASEAN masih menempati
posisi tujuh dibawah Singapura, Malaysia, Brunei, Vietnam, Filipina, dan
Thailand.
Sistem
Merit, Kinerja Dihargai
Sistem meritokrasi memberikan
kesempatan berusaha mencari orang yang memiliki kemampuan dan kualifikasi
terbaiklah yang akan untuk menduduki suatu posisi dan memberikan penghargaan
kepada mereka yang berprestasi. Menemukan orang yang memiliki kemampuan unggul
dapat dilakukan melalui tes, melihat pengalaman, atau kombinasi dari berbagai
penilaian ini. Namun kritikus mengatakan bahwa bentuk pemerintahan ini
diskriminatif karena mungkin tidak akan memberikan kesempatan pada orang yang
memiliki keterampilan tetapi tidak cukup cerdas atau tidak berkesempatan
mendapatkan pendidikan tertentu. Sistem inilah yang mengkritik Weberian yang
teorinya cendrung impersonalitas sehingga cenderung tidak melihat kecapakan (merit)
dan keterampilan (skill) dari seorang staf pemerintahan. Karena atmosfer
KKN tersebut sangat kental daripada profesionalisme.
Memang tidak ada reformasi tanpa
resiko karena mengelola perubahan membutuhkan kapasitas untuk mengelola konflik
dan mobilisasi dukungan terhadap perubahan. Skala perubahan yang akan
dikanalkan harus sesuai dengan kapasiatas dalam mengelola konflik dan
mobilisasi dukungan pemangku kepantingan. Perbaikan kualitas pelayanan dimulai
dari perubahan kelembagaan, rightsizing, redefine visi misi institusi dan
performance review akan mampu menjadi cermin yang baik untuk melihat
seberapa jauh suatu institusi dapat berjalan.
Pada akhirnya setiap institusi harus
mampu mengumpulkan dan mengelola data dasar berbasis indikator kinerja kunci
(IKK) yang dikembangkannya sehingga mampu mengukur sejauh mana manajemen
perubahan yang bersifat sistematis. Wahai birokrat muda maju terus membangun
bangsa.
Tulisan
opini pribadi
0 comments:
Post a Comment