Surat Imam
Oleh : Edrida Pulungan
Seorang perempuan
tanpa sengaja membaca lembaran tengah agenda kerja berwarna hitam. Meskipun
sudah cukup tua dia masih mampu membaca dengan kacamatanya yang agak melorot
kebawah.Sesekali matanya menyipit melihat tulisan tangan klasik bertali mirip
tulisan tangan suaminya.
Matanya masih tajam
membaca beberapa aksara yang terlihat rapat itu. Ada senyuman tipis namun
terlihat jelas dibibirnya. Perempuan berkepala lima itu membaca tulisan anaknya.
“Salam dengan
Senyuman”
Assalamu alaikum
wr.wb.
Ini hanya sepucuk
surat. Entah untuk siapa surat ini kutujukan. Tapi tak masalah siapapun yang
membaca surat ini. Jika dia lelaki akan kujadikan saudara, Jika dia perempuan
baca dan ambil hikmahnya saja ya :)
Perkenalkan Namaku
Imam. Ada nama panjangnya tapi cukup panggil diriku singkat aja. Aku yakin
semua wanita yang masih sendiri pasti ingin menemukan imamnya sebagai
pendamping hidupnya. Tentu aku paling dicari bukan? Tapi untuk apa sih aku ge
er dengan nama pemberian orangtuaku ini. Jika aku toh juga masih sendiri. Meski
aku lelaki ndeso yang terlahir di desa selatan jogja, Tapi aku cukup bahagia
dan eksis di ibukota. Mungkin karena aku terlahir sebagai lelaki sederhana yang
gak neko-neko dan selalu optimis.
Perawakanku biasa,
tinggi dengan kulit hitam manis. Jauh dari tampang pria metropolis. Tapi
gini-gini aku aktivis dan ketua organisasi ektrakurikuler di kampus. Aku sudah
menyelesaikan s2 di kampus paling top di Indonesia dan aku masih saja dengan
idealismeku. Tapi jangan tanyakan kenapa sampai sekarang aku masih sendiri.
Bukannya diriku tak percaya dengan cinta dan romansanya. Namun siapa yang mau
dengan seorang aktifis yang masih realistis dengan hidup. Aku memang dianggap
berilmu dan wise diantara teman-temanku, namun soal cinta selalu miris. Aku
cuma mau perempuan yang sederhana, mencintai ilmu dan taat beragama. Agar
sama-sama mengamalkan ilmu agar semua berkah.
Tapi untuk poin
ketiga jangan anggap aku sok religius. Tapi aku ingin meneruskan jejak abah
membina pesantren kecil-kecilan di kampung. Ibukota sudah banyak orang cerdas
dan pintar. Aku ingin menepi bersama dia perempuan yang kupilih dan memilihku
tentunya.
Cinta itu tidak ribet
dan sederhana bukan? setidaknya aku juga berniat membangun keluarga kecilku
kelak dengan ilmu, bukan terjun bebas dan menjabarkan banyak ayat agar
perempuan yang kupinang kelak yakin rezeki Allah akan melimpah dan mau saja
kunikahi. Padahal kadang ini hanya gombal yang dengan retorika agar perempuan
itu mau (maaf untuk kaum adam yang pakai modus ini ya). Toh niat baik akan
menemukan jalannya, begitu juga sebaliknya bukan?
Jika perjalanan waktu
membawaku pada pertemuan dengan seorang perempuan yang akan kumuliakan itu, maka
tentu aku dan ibu akan jadi orang yang paling bahagia. Karena dari dulu dia
tidak pernah melihatku bersama seorang perempuan. Sampai ibu khwatir apakah aku
lelaki normal:) . Tapi satu hal saja yang aku ingin sampaikan dalam suratku
ini. hoi , diriku sudah siap jadi imam, apakah ada yang siap jadi makmumku?
Surat ini ternyata
dibaca oleh Ibunya Imam sambil tersenyum sumringah. Surat ini ada dalam buku
harian puteranya dengan mushaf kecil di sampingnya.
Ibunya membatin.
“Anakku Ibu doakan kelak engkau mendapatkan makmum yang baik dan kelak
pertemuan kalian akan terwujud karena cintaNya”
Ibu Imam berjalan
menuju ruang depan. Dia memandangi photo Imam saat wisuda. Disampingnya ada
photo waktu imam kecil dengan 4 saudaranya dan duduk manis disamping suaminya.
Dia teringat masa
indah bersama keluarga besarnya. Imam adalah anak pertama. Suaminya yang
bertugas sebagai pegawai negeri sering keluar kota. Bahkan jelang usia
kandungannya sudah delapan bulan. Namun untunglah suamninya selalu setia
menelponnya dan menayakan khabarnya, sehingga dia merasa kuat mengandung calon
bayinya.
Imam lahir pada hari minggu jelang shubuh
hari. Semua keluarga besar begitu bahagia menyambut kehadirannya. Apalagi dia
cucu pertama. Begitupun suaminya sempat mengazankan Imam buah hati mereka.
Namun hingga Imam punya empat adik keempat, dia tersadar bahwa sakit suamninya
membuatnya harus memikirkan ekonomi keluarga. Perempuan kepala lima itu mencari
pekerjaan untuk menutupi biaya sakit suaminya dengan menjahit . Untungnya dia
punya keterampilan menjahit yang dia peroleh otodidak. Mesin jahit bekas Ibunya
masih bisa dimanfaatkannya untuk menerima pesanan beberapa tetangga dan
langganannya mulut ke mulut. Begitulah keluarga mereka bertahan.
Sedangkan Imam sebagai anak lelaki satu-satunya
juga cukup tahu diri dengan kondisi keluarganya. Dia terharu dan bahagia karena
Imam anak yang bisa diandalkan dan ikut meringankan bebannya sebagai tulang punggung keluarga
dengan bekerja sebagai pengajar privat disela-sela kuliahnya. Dan membantu
biaya sekolah adik-adiknya. Hingga suaminya wafat karena sakit diabetes dan
mereka tetap bertahan dengan kondisi yang sulit.
Namun Tuhan tidak
pernah tidur. Imam sosok tangguh mendapatkan pekerjaan bergengsi di perusahaan minyak
dan telah menyelesaikan S2 nya di Belanda hingga kembali ke tanah air. Sungguh
di akagum pada puteranya itu. Meskipun selalu ada yang mengganjal dalam
hatinya. Hingga sekarang puteranya itu masih sendiri dan belum menemukan
pendamping. Dia kadang heran apakah Imam tidak memikirkan masa depannya.
Sudah
seminggu dia menemani puteranya di Jakarta. Imam puternya rindu dengan
masakannya. Akhirnya perempuan berusia kepala lima itu mengunjungi puteranya
karena Imam memang anak yang patuh diantara anak-anaknya. Namun bukankah cinta
seorang perempuan yang akhirnya menjadi istri dan ibu kelak selalu bermuara dan
menjadi mata air kehidupan untuk anak-anak dan suaminya?
ting tong..ting tong
Suara bel
berbunyimemecah keheningan rumah berlantai dua itu.
Seorang ibu keluar
dengan terburu-buru menyambut seorang di depan. Ternyata Imam puteranya. Dia
tersenyum dan memeluk puternya. lelaki itu dengan takzim mencium telapak tangan
ibunya dan memeluknya.
” Bu saya sengaja
pulang kerumah buat makan siang lho,masak apa bu”
” biasa makanan
kesukaanmu ,sambal ikan ms goreng dengan sayur bening”
“wah ibu chef hebat
sedunia ya, terimakasih bu”
” ibu mah chef hebat
abahmu mam, makanya kamu harus ketemu chef perempuan yang lain dong”?
” oh ya siapa bu”
” ya, istrimu kelak
dong, sang makmum”
” huk,,huk, ah ibu
bis aja” Imam hampir tersedak namun tetap tersenyum.
“ apa lagi toh yang
kamu cari Imam, kamu sudah selesai S2 dan membantu adik-adikmu sekolah hingga
sarjana. Alhamdulillah juga kamu sudah punya rumah. Menikahlah nak”
“ benar nih bu, nanti
gimana kalau ibu merasa sendirian? Gimana kalau menantu Ibu kelak tidak peduli
sama Ibu. Ibu nanti merasa sendirian?
“ Imam, jangan
berpikir sejauh itu, bagaimanapun setiap manusia punya perjalanan hidup
yangberbeda. Kamu juga harus memikirkan masa depanmu. Doakanlah Ibu nak. Ibu
sangat bahagia. jika engkau bahagia”
“ Ibu yakin, semua
adik-adik tinggal di luar kota dan Ibupun sendiri di rumah”
“ Ibu tidak sendiri
bukan, kan ibu bisa menguinjungi kalian juga satu persatu. Lagian Ibu juga
senang tinggal di rumah peninggalan Bapak kalian. Toh disana banyak kenangan
manis yang tak bisa Ibu lupakan. Saat kalian masih kecil hingga semua merantau.
Tetap semua kenangan bahagia begitu indah di rumah itu.
Imam merasa haru
mendengar penjelasan Ibunya. Matanya berkaca-kaca. Tak sanggup rasanya dia
mengatakan pda Ibunya bahwa sejujurnya dia juga sudah ingin menikah. Namun dia
benar-benar ingin tahu perasaan Ibunya yang paling dalam. Dia takut Ibunya
merasa tersinggung dan ditinggalkan jika Imam menikah kelak. Namun ternyata
Ibunya seorang perempuan berhati mulia. Wanita yang membuatnya merasa bangga dan
bahagia memiliki ibu yang pengertian.
Imam menghambur
kepelukan ibunya. Dengan suara yang terisak
“ terimakasih atas
doa dan restu Ibu. Jangan khawatir bu. Imam akan segera menikah dan menemukan
perempuan yang penuh kasih sayang dan mencintai keluarganya dalam suyka dan
duka seperti Ibu”
“ ya nak, kamu pasti
menemukan perempuan yang baik untuk istrimu, karena engkau adalah anak yang
memuliakan ibu dan sayang apda adik-adikmu. Almarhum Ayahmu pasti bangga padamu
nak”
“ ya dong bu, karena
ketampanannya menurun pada saya bukan?”Imam mencoba berkelakar menghangatkan
suasana yang penuh haru”
“ ya pasti itu,
makanya tidak ada yang bisa menggantikan cinta ayahmu nak, dan tiada yang
setampan beliau”
Perempuan itu
setengah tersenyum dan menahan tawanya. Dia tahu Imam paling bisa menghibur
hatinya. Imam berhasil jadi imam baginya dan anak-anaknya yang lain, saat suamiya
wafat.
Perempuan itu hanya
memainkan sebelah matanya. Begitulah Ibu selalu ada dalam duka dan bahagia.
Bendungan Hilir,
Limboto 121
0 comments:
Post a Comment