Langit
malam yang pekat, suara terompet bersahutan dimana-mana. Saya menepi dari
riuhnya suasana tahun baru dan berada sekitar 25 kilometer dari ibukota
Jakarta, Namun ternyata di kota ini juga tak kalah riuhnya, sepanjang sisi
jalan dipenuhi penjualan terompet.
Langit
penuh dengan aneka warna kembang api yang mengetuk pekat dan heningnya malam
Namun
bedanya sholawat nabi juga terdengar riuh di masjid-masjid yang tak jauh dari
rumah.
Tak
berapa lama hujan mengguyur, dan saya merapikan kembali semua buku yang masih
terpacking dalam dus-dus dan juga koper yang belum dibuka, harta saya yang
paling berharga adalah koleksi Al qur’an dari hadiah kedutaan Quwait dan
buku-buku yang saya beli dan kumpulkan selama 5 tahun saya di Jakarta
Tahun
baru ini memenag begitu sederhana, saya berada di rumah inspirasi, satu rumah
mungil di Kota depok. Menikmati suara rinai hujan yang syahdu sambil
menghabiskan membaca majalah Tempo yang baru saya buka dari plastiknya, majalah
ini ada dalam goody bag acara HUT RI yang ke 67, tentang Diplomat Senior Agus
Salim" sungguh senang membacanya. ternyata agus salim semasa hidupnya
menguasai 7 bahasa, sering pindah rumah dan sangat romantis pada istrinya. Hingga
Presiden Soekarno pun sering mengunjunginya. dan jabatan terkahirnya sebagai
menteri luar negeri ke 3 yang lahir dengan nama Mashudul Haq Mashudul
Haq ("pembela kebenaran"); lahir di kota Gadang,
Sumatera Barat pada tanggal pada 8 oktober 1884 dan meninggal di
jakarta pada tanggal 4 November 1954 pada
umur 70 tahun.
Beliau juga
pernah menempuh pendidikan di sekolah khusus anak-anak Eropa di Europeesche
Lagere School (ELS) yang kemudian berlanjut di Hoogere Burgerschool (HBS) di
Batavia. Beliau juga berperan sebagai salah satu anggota panitia 9 BPUPKI yang
mempersiapkan UUD 1945. Karena kepiawaian beliau dalam hubungan internasional,
beliau dipercaya sebagai menteri muda luar negeri kabinet Sjahrir II dan III,
serta menjabat sebagai menteri luar negeri pada kabinet Amir Sjarifuddin dan
Hatta.
Pada tahun 1952, Haji Agus Salim menjabat sebagai Ketua di Dewan Kehormatan
PWI. Hal
tersebut menjadi penutup karirnya di dunia kancah politik. Beliau beralih
menghabiskan masa tuanya sebagai penulis buku. Buku yang telah terbit dari
tangannya berjudul "Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid Harus
Dipahamkan". Buku tersebut kemudian diperbaiki menjadi "Keterangan
Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal".
Buku yang telah
beliau tulis juga merupakan buah karya dari pengalamannya sebagai jurnalis pada
masa mudanya. Agus Salim muda merintis karir sebagai
Redaktur II di Harian Neratja yang kemudian diangkat menjadi Ketua Redaktur. Tidak
berhenti disana, beliau juga menjadi pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta,
dan kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Di tengah-tengah karir beliau
di dunia jurnalistik, beliau menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8
orang anak.
0 comments:
Post a Comment