Dibalik cerita Sang Guru, Anies Baswedan
“ Be Optimistic with This Republic”
“
Be optimistic with this republic”
tulisan tangan tersebut tertulis rapi di halaman depan buku “ Korupsi Mengorupsi Indonesia,
yang diadakan pada tanggal 12 Januari
2010
bertempat
di gedung Financial Grup,
Buku anti korupsi ini merupakan inisiatif positif dari kalangan profesional dan
akademisi untuk mendukung usaha pemerintah dalam pemberantasan korupsi, acara launching buku tersebut dihadiri
para tokoh diantaranya Mantan preside RI,
Bapak Jusuf Kalla, Sandiaga Uno, Denny
Indrayana, Dewi Motik dan tokoh
lainnya.
Mengapa tulisan tersebut mengandung
arti optimisme untuk republik Indonesia tercinta?Apakah sudah banyak yang ragu
dnegan Indonesia? Mungkin karena korupsi merajalela, pengangguran semakin
tinggi, banyak masyarakat putus sekolah dan kriminalitas semakin tinggi,
sehingga optimisme, harpan dan impian hilang, Indonesia redup, gelap dan suram.
Mungkin hal inilah yang tersirat di balik tulisan tersebut, dan tulisan tangan tersebut
adalah Tulisan Bapak Anies Baswedan di buku setebal 1117 halaman tersebut di tulis oleh Ridwan
Zachrie dan Wijayanto dengan Penerbit
Gramedia Pustaka Utama yang berasal dari bunga rampai
atau kumpulan tulisan mengenai korupsi
dan ulasan komprehensif dari para pakar dan pejuang
antikorupsi tentang berbagai aspek korupsi di Indonesia yang merupakan akumulasi
pengetahuan dan pengalaman 30-an pakar dari berbagai bidang yang berasal dari
berbagai negara itu menjadi
buku yang bersejarah yang menyambut saya di Jakarta dengan warna cover putih
dengan tulisan merah yang kontras, buku
dengan simbolis warna nasionalismenya
yang sangat kuat seolah mengirim pesan Indonesia free from corruption !
Dalam acara tersebut Pak Anies
memberikan kata sambutan dalam acara diskusi dan peluncuran buku tersebut.
Menurut beliau korupsi bagaikan virus yang menggerogoti bangsa dan membahayakan
karena roda bernegara bisa lumpuh total, dan korupsi bukan hanya dalam ranag
mengambil uang rakyat namun wajah korupsi juga bisa berbentuk kebijakan yang
merugikana masyarakat dan abnagsa karena tidak arif dalam mengambil langkah dan
keputusan yang seyogyanya bertujuan untuk kemaslahatan orang banyak.
Waktu berlalu, saya harus menjalani
lagi seleksi wawancara, saya satu-satunya calon mahasiswa yang berasal dari
luar Pulau Jawa waktu itu hanya berdoa semoga semua berjalan lancar, karena mengejar
penerbangan sore, dengan harga tiket yang lumayan mahakl waktu itu, bisa kacau
kalau saya ketinggalan pesawat namun saya merasa senang waktu itu karena bertemu dengan banyak rekan-rekan
seperjuangan, kandidat mahasisswa S2 Paramadina. Mereka memang sosok-sosok pilihan, kebanyakan
diantara kami adalah aktifis di dunia jurnalistik dan LSM, pada
pertemuan yang singkat menunggu giliran wawancara dengan kegugupan
tingkat tinggi kami berbagi cerita, tawa, inspirasi dan semangat di lobby
kampus di gedung Energy Building lantai
22 itu, kami sedikit nervous diwawancarai
para master dan doktor lulusan Amerika,
dan masih tersimpan di memori kenangan yang begitu indah dan tidak bisa terlupakan,
kelak cerita bergulir karena diantara masing-masing kami sibuk berjuang menuju
mimpi-mimpi jiwa muda ditengah tugas kuliah yang menumpuk.
Kelas Perdana,
Sang Rektor Datang, semua senang
Saya
tak pernah
menduga sebelumnya sosok itu kelak akan menjadi Rektor saya di kampus S2 Universitas Paramadina, karena
kedatangan saya ke Jakarta akhirnya
berbuah manis dan resmi menjadi mahasiswa S2 Hubungan Internasional jurusan Diplomasi Program
fellowship yang disponsori oleh Medco
foundation. Saya begitu semangat dan
duduk paling depan, disamping saya adalah Pak Makarim Wibisono yang kelak
menjadi dosen saya, beliau adalah former
ambassador untuk PBB dan Chairman ASEAN Foundation, saya sempat
bercakap-cakap dengan beliau dan mengatakan ketertarikan saya dengan ilmu
diplomasi ekonomi, beliau memberi motivasi untuk tekun belajar.
Dan dihadapan saya hadir seorang
sosok yang pernah saya lihat pada acara launching
buku Korupsi Mengorupsi Indonesia, beliaulah Anies
Rasyid Baswedan, dalam acara kuliah
umum perdana seluruh mahasiswa S2 yang terdiri dari Mahasiswa Jurusan
Komunikasi Politik, Komunikasi Perusahaan, Manajemen Strategik, Ekonomi Syariah
dan Hubungan Internasional, beliau berbicara di podium dan menyampaikan ucapan selamat dengan penuh suka cita dan
memberikan kata sambutan dengan analogis yang menarik, sehingga kesan
pertama melihat beliau adalah
seorang
sosok yang visioner dan
optimistis, dua kata tersebut terus terbukti dalam berbagai kelas yang saya ikuti
bersama beliau mulai dari kelas mata kuliah Diplomasi, ASEAN, dan mata kuliah
lainnya, Beliau selalu mencoba membangun interaksi dengan mahasiswa agar mau
mengutarakan pendapat sehingga membangun cakrawala berpikir. Uniknya daya ingat
beliau cukup tinggi, saat itu beliau bertanya “ anda dari mana?” mungkin karena mendengar dialek saya yang terdengar
agak berbeda. Saya tersenyum dan mengatakan “
saya dari Medan Pak “, jawab saya singkat. “oh mendengar Medan saya
selalu teringat semangatnya kata beliau,
Memang menurut biografi tentang
beliau yang saya baca Pak Anies adalah seorang anak yang aktif dan kritis,
dari sejak sekolah SD hingga kuliah.
Beliau juga pernah terpilih untuk mengikuti program pertukaran pelajar AFS di
Amerika, sehingga jiwa leadership dan nasionalisme beliau tertempa utuh. Daya
ingatnya juga cukup tinggi, itu terbukti saat saya menghadiri seminar ASEAN dimana
Bapak Mentri Luar Negeri Marty Natalegawa hadir sebagai pembicara dan saya
memberanikan diri untuk bertanya tentang dinamika ASEAN dalm konteks people to people contact, dan ternyata Pak Anies masih mengingat saya
dan saat di mata kuliah ASEAN berikutnya dia berkata, “Anda yang bertanya kemarin acara seminar ASEAN
bukan, pertanyaan yang bagus? Apresiasi
beliau di kelas, dan Begitulah Pak
Anies sosok guru bagi saya yang memang terlahir dari pasangan orangtua guru
yang bergerak di ranah pendidikan
Satu kata untuk Pak
Anies, setelah setahun berlalu, Inspiratif
Saya
ingat sekali saat mengikuti kuliah umum dan mendengarkan kata sambutan beliau
soal pendidikan. “Pendidikan itu adalah
eskalator ynag mampu menganggkat seseorang menuju tangga berikutnya” begitu kira-kira
kata-kata yang masih saya ingat dan membekas dalam. Dan filosofis tersebut jualah yang menghantarkan saya
meninggalkan kampung halaman dan menuntut ilmu di ibukota dan berdamai dengan
macetnya Jakarta, sejenak meningggalkan hening menuju kota yang riuh.
Setelah
selesai mata kuliah Diplomasi dan ASEAN, saya bersama rekan mahasiswa yang lain
biasanya ngobrol dengan beliau di lobby, dan disana kami berbicara ide tentang
Indonesia Mengajar, dan saat itu saya begitu tertarik dan bercerita bahwa
almarhum Bapak saya juga pernah menjadi pejuang literasi untuk mengajari anak dan orang tua baca tulis di sebuah pedesaan
di pulau Nias dan itu menjadi inspirasi bagi saya dan obrolan kami ternyata tak
berhenti disitu, tak lebih dari dua bulan pak Anies akhirnya mewujudkan “
Indonesia Mengajar” hingga program-program Kelas Inspirasi
menyita banyak minta relawan untuk mendaftar dan yang menarik program kelas
Inspirasi kedua yang serentak dilaksanakan di seluruh sekolah di Indonesia
diadakan pada tanggal 25 April 2012 yang bertepatan hari ulang tahun saya, namun sayang sekali tak bisa saya hadiri
berhubung ada tugas
Pak Anies
Baswedan berhasil mewujudkan insiatif sederhana dengan mengajar pada
sekolah-sekolah SD di seluruh Indonesia, namun memberi pengaruh besar pada
sebuah perubahan yakni “ kesadaran” kepada semua pihak, baik masayarakat,
swasta dan pemerintah bahwa pendidikan adalah hak semua rakyata Indonesia dan
setiap kita bisa mengambil peran di dalamnya baik dalam porsi kecil maupun
besar sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Bahkan
“ kesadaran” yanng saya terjemahkan
abstarak bagaikan Early Warning
System (Sistem
Detreksi Dini), dengan pengertian
akumulasi kebodohan akan berkorelasi dengan kemiskinan, untuk itu
perlu memberikan harapan kepada anak-anak indonesia untuk terus belajar dan
bersekolah dan meningkatkan pendidikan
mereka, karena penduduk Indonesia dengan
populasi 250
juta merupakan aset bangsa jika memiliki SDM yang berkualiatas yang berpotensi
dengan 60 % usia produktif yang kelak menjadi leader di masa depan.
Pertemuan
berikutnya dengan Pak Anies Baswedan pada bulan Pebruari 2013 di Bandung
bertempat di Gedung Indonesia Menggugat dalam acara Indonesia Youth
Changemaker, saat itu beliau hadir
sebagai pembicara, dan seperti biasa memberi aura tentang emangat pemuda yang
harus mampu berpikir melampaui zamannya seperti founding father, Soekarno dan sebagainya. Beliau mengatakan
Pendidikan adalah eskalator kehidupan untuk naik tangga berikutnya, dan hal ini
terbukti nyata saat banyak orangtua di pedesaan yang berjuang
untuk menyekolahkan anaknya hingga menjual sawah dan kerbau bisa sekolah ke jenjang berikutnya,yang
penting. Begitu juga dengan masyarakat di perkotaan juga menyekolahkan
anaknya di sekolah perkotaan yang
berstandar internasional, bahkan hingga ke luar negeri agar anaknya sukses
kelak, yang menarik dari sosok
Anies Baswedan saat menginspirasi dengan berkarya untuk anak bangsa, beliau
juga sering menjadi pembicara dalam berbagai forum muda dan pernah terpilih
menjadi satu diantara 100 tokoh yang Intelektual
Publik Dunia. Anies Baswedan merupakan satu-satunya orang Indonesia yang
masuk pada daftar hasil rilis majalah tersebut. Dalam daftar itu nama Anies
sejajar dengan tokoh dunia seperti Noam Chomsky
(tokoh perdamaian), para penerima nobel seperti Shirin Ebadi,
Al Gore,
Muhammad
Yunus, dan Amartya Sen.
Salah satu ungkapan beliau yang
menarik dari beliau adalah tentang janji kemerdekaan untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara.
Menurut beliau Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara.
Beliau mengilustrasikan Republik ini sebagai sebuah tenun kebangsaan yang
dirajut dari kebhinekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, geografis yang
sangat unik. Kekerasan atas nama apapun akan merusak tenun tersebut. Dalam soal
perlindungan terhadap warga negara atas kekerasan yang kerap terjadi menurut
Anies Baswedan harus dilihat sebagai warga negara menyerang warga negara
lainnya, terjadi bukan soal mayoritas lawan mayoritas. Negara memang tidak bisa
mengatur perasaan, pikiran, ataupun keyakinan warga negaranya. Namun menurut
negara sangat bisa mengatur cara mengekspresikannya. Dialog antar pemikiran
setajam apapun boleh, namun begitu berubah jadi kekerasan maka pelakunya berhadapan
dengan negara dan hukum,, ilustrasi
tenun tersebut begitu indah dan artistic, mungkin karena semasa kecil beliau
tinggal dan sekolah di Jogjakarta sehingga jiwa seni, estetika dan pemikiran
menghadirkan originalitas ide beliau yang sederhana namun menarik dan mengusik
setiap orang untuk merenung dan berpikir.
Pikir Itu Pelita Hati, dan Pelita itu menjadi
Indonesia Menyala
Membangun Indonesia memang harus dimulai dengan langkah sederhana yang klonkrit namun memberi terang setelah
kegelapan, setelah menyiapkan program pengajar muda, yang dibutuhkan
selalnjutnya adalah infrastruktur yakni
membangun perpustakaan-perpustakaan
yang bertempat di wilayah penempatan Pengajar Muda. Perpustakaan Indonesia
Menyala terdiri dari dua bentuk yakni perpustakaan tetap dan perpustakaan
berputar. Perpustaakaan tersebut
berisi buku-buku yang dikumpulkan oleh para relawan dan pengajar muda yang diluncurkan pada
15 April 2011. Hal ini merupakan pemikiran
pengajar muda yang melihat kebutuhan akan bahan
bacaan yang bermutu sehingga buku
pun dapat di akses dan sebar di masyarakat melalui perpustakaan
tetap dan perpustakaan berputar.
Uniknya, perpustakaan berputar, berbentuk sebuah tas
yang dibawa keliling oleh Pengajar Muda untuk dibaca oleh masyarakat sekitar. Dan sekali lagi terbukti
Indonesia Menyala akhirnya membuka akses
terhadap bacaan yang terbatas pada masyarakat masyarakat pedesaan di Indonesia,
sehingga pendidikan adalah hak masyarakat Indonesia.
Regenarasi ide menjadi
mengalir dengan sendirinya karena program Indonesia Menyala adalah
regeneras dari Ide Indonesia mengajar, begitulah simpul yang terikat dan
menjadi kuat dibalik sosok yang memberikan pengaruh pada masyarakat sehingga
dengan sendrinya masyarakat dan anak-anak muda, swasta dan pemerintah tergerak
bekerjasama dan menginisiasi dan mereproduksi ide yang sama seperti UI mengajar
dan sebagainya, dan anies Baswedan tentu tidak pernah menyangka bahwa program
tersebut menggerakkkan jiwa yang diam menjadi bergairah dan hangat untuk
menerobos batas dan melampaui mimpi suatu generasi, dan data terakhir seleksi
Indonesia mengajar selalu ditunggu anak-anak muda Indonesia yang cerdas, berprestasi
dan kreatif, sudah ada enam angkatan dan menunggu angkatan ketujuh biasanya
yang diterima hanya tujuh puluhan pengajar yang berhasil diseleksi dari ribuan
berkas, sungguh prestasi yang sangat terpuji karena sudah berjalan
berkelanjuttan dnegan kualitas pengajar yang teruji mental, nasionalisme dan
ilmunya untuk berbagi dengan masyarakat di pelosok, di pulau-pulau Indonesia,
dan kelak senyum anak bangsa akan semakin cerah karena semua menjadi equal ,
dan pembedanya adalah kemauan untuk selalu menjaga nyala di jiwa, sebagai “
pelita” yang kelak akan bersinar, dan obor pelita tersebut bisa saja dibawa
oleh anak-anak bangsa di pelosok yang terinfirasi membangun negeri, karena
kepedulian selalu beradsal dari ketulusan.
Anies Baswedan For RI 1?
Apakah
anies baswedan siap menjadi presiden Republik Indonesia,mari kit abaca dari
surat beliau di bawah ini, karena saya tidak bisa menafsirkan sendiri, inilah
surat beliau dan surat ini bernada sama dalam buku yang saya baca “Surat dari
dan untuk Pemimpin” terbitan Tempo Institute yang berisi himpunan
surat dari birokrat, jurnalis, pengusaha, CEO, rohaniwan, seniman, artis,
aktivis pengembangan masyarakat, tokoh penegakan hukum, dan penulis kepada semua pemuda dan calon pemimpin bangsa, inilah surat
Pak Anies Baswedan, silahkan dibaca dan direnungkan
Saya menulis surat ini terkait dengan
perkembangan baru yang datangnya amat cepat dan saya merasa perlu untuk
mengirimkan surat ini secara pribadi. Beberapa waktu yang lalu, saya diundang
untuk turut konvensi. Saya diundang bukan untuk jadi pengurus partai, tetapi
untuk diseleksi dan dicalonkan dalam pemilihan presiden tahun depan. Saya
semakin renungkan tentang bangsa kita, tentang negeri ini.
Pilih turun tangan, ikut bertanggung jawab.
Para pendiri Republik ini adalah kaum
terdidik yang tercerahkan, berintegritas, dan berkesempatan hidup nyaman tapi
mereka pilih untuk berjuang. Mereka berjuang dengan menjunjung tinggi harga
diri, sebagai politisi yang negarawan. Karena itu mereka jadi keteladanan yang
menggerakkan, membuat semua siap turun tangan. Republik ini didirikan dan
dipertahankan lewat gotong royong. Semua iuran untuk republik: iuran nyawa,
tenaga, darah, harta dan segalanya. Mereka berjuang dengan cara terhormat
karena itu mereka dapat kehormatan dalam catatan sejarah bangsa ini.
Kini makna “politik” dan “politisi”
terdegradasi, bahkan sering menjadi bahan cemoohan. Tetapi di wilayah politik
itulah berbagai urusan yang menyangkut negara dan bangsa ini diputuskan. Soal
pangan, kesehatan, pertanian, pendidikan, perumahan, kesejahteraan dan sederet
urusan rakyat lainnya yang diputuskan oleh negara. Amat banyak urusan yang kita
titipkan pada negara untuk diputuskan.
Di tahun 2005, APBN kita baru sekitar 500-an
triliun dan di tahun ini sudah lebih dari 1600 triliun. APBN kita lompat lebih
dari tiga kali lipat dalam waktu kurang dari delapan tahun.Kemana uang iuran
kita semua digunakan? Di tahun-tahun kedepan, negara ini akan mengelola uang
iuran kita yang luar biasa banyaknya. Jika kita semua hanya bersedia jadi
pembayar pajak yang baik, lalu siapa yang jadi pengambil keputusan atas iuran
kita?
Begitu banyak urusan yang dibiayai atas
IURAN kita dan atas NAMA kita semua. Ya, suka atau tidak, semua tindakan negara
adalah atas nama kita semua, seluruh bangsa Indonesia. Haruskah kita semua
membiarkan, hanya lipat tangan dan cuma urun angan?
Di negeri ini, lembaga dengan tata kelola
yang baik dan taat pada prinsip good governancemasih amat minoritas. Mari kita
lihat dengan jujur di sekeliling kita. Terlalu banyak lembaga, institusi dan
individu yang masih amat mudah melanggar etika dan hukum semudah melanggar
rambu-rambu lalu lintas. Haruskah kita menunggu semua lembaga itu beres dan
“bersih” baru ikut turun tangan?
Jika saya tidak diundang maka saya terbebas
dari tanggung-jawab untuk memilih. Tapi kenyataannya saya diundang walau tidak
pernah mendaftar apalagi mengajukan diri. Dan saya menghargai Partai Demokrat
karena faktanya partai ini jadi satu-satunya yang mengundang warga negara,
warga non partisan. Di satu sisi, Partai Demokrat memang sedang banyak masalah
dan persepsi publik juga amat rendah. Di sisi lain konvensi yang dilakukan oleh
Partai Demokrat adalah mekanisme baik yang seharusnya juga ada di semua partai
agar calon presiden ditentukan oleh rakyat juga.
Saya pilih untuk ikut mendorong tradisi
konvensi agar partai jangan sekedar menjadi kendaraan bagi kepentingan elit
partai yang sempit. Kini semua harus memperjuangkan agar konvensi yang
dilaksanakan oleh Partai Demokrat ini akan terbuka, fair dan bisa diawasi
publik. Saya percaya bahwa penyimpangan pada konvensi sama dengan pengurasan
atas kepercayaan yang sedang menipis.
Undangan ini untuk ikut mengurusi negara
yang kini sedang dihantam deretan masalah, yang hulunya adalah masalah
integritas dan kepercayaan. Haruskah saya jawab, “mohon maaf saya tidak mau
ikut mengurusi karena saya ingin semua bersih dulu, saya takut ini cuma
akal-akalan. Saya ingin jaga citra, saya ingin jauh dari kontroversi, saya
enggan dicurigai dan bisa tak populer?” Bukankah kita lelah lihat sikap tidak
otentik, yang sekedar ingin populer tanpa memikirkan elemen tanggungjawab?
Haruskah saya menghindar dan cari aman saja? Saya sungguh renungkan ini semua.
Saat peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agutus
2013 adalah hari-hari dimana saya harus ambil keputusan. Saat itu saya menghadiri
upacara di Istana Merdeka, bukan karena saya pribadi diundang, tetapi undangan
ditujukan pada ahli waris AR Baswedan, kakek kami, dan kami yang berada di
Jakarta. Jadi saya dan istri hadir mewakili keluarga.
Seperti biasa bendera merah putih itu
dinaikkan dengan khidmat diiringi gelora Indonesia Raya. Dahulu bendera itu
naik lewat jutaan orang iuran nyawa, darah dan tenaga hingga akhirnya tegak
berkibar untuk pertama kalinya. Menyaksikan bendera itu bergerak ke puncak dan
berkibar dengan gagah, dada ini bergetar.
Sepanjang bendera itu dinaikkan, ingatan
saya tertuju pada Alm. AR Baswedan dan para perintis kemerdekaan lainnya.
Mereka hibahkan hidupnya untuk memperjuangkan agar Republik ini berdiri. Mereka
berjuang “menaikkan” Sang Merah-Putih selama berpuluh tahun bukan sekedar dalam
hitungan menit seperti saat upacara kini. Mereka tak pilih jalur nyaman dan
aman. Mereka juga masih muda, namun tidak ada kata terlalu muda untuk turun
tangan bagi bangsa. Berpikir ada yang terlalu muda, hanya akan membawa kita
berpikir ada yang terlalu tua untuk turun tangan. Mereka adalah orang-orang
yang mencintai bangsanya, melebihi cintanya pada dirinya.
Suatu ketika saya menerima sms dari salah
satu putri Proklamator kita. Ia meneruskansms berisi Sila-Sila dalam Pancasila
yang dipelesetkan misalnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” diubah jadi “keuangan yang
maha kuasa” dan seterusnya. Lalu ia tuliskan, “Bung Anies, apa sudah separah
ini bangsa kita? Kasihan kakekmu dan kasihan ayahku. Yang telah berjuang tanpa
memikirkan diri sendiri, akan ‘gain’ apa.”
Kini, saat ditawarkan untuk ikut mengurusi
negara maka haruskah saya tolak? sambilberkata, mohon maaf saya ingin di zona
nyaman, saya ingin terus di jalur aman ditemani tepuk tangan? Haruskah
sederetan peminat kursi presiden yang sudah menggelontorkan rupiah amat besar
itu dibiarkan melenggang begitu saja? Sementara kita lihat tanda-tanda yang
terang benderang, di sana-sini ada saja yang menguras uang negara jadi uang
keluarga, jadi uang partai, atau jadi uang kelompoknya di saat terlalu banyak
anak-anak bangsa yang tidak bisa melanjutkan sekolah, sebuah “jembatan” menuju
kemandirian dan kesejahteraan. Pantaskah saya berkata pada orang tua, pada
kakek-nenek kita, bahwa kita tidak mau ikut berproses untuk mengurus negara karena
partai belum bersih? Haruskah kita menunggu semua partai beres dan “bersih”
baru ikut turun tangan?
Saya pilih ikut ambil tanggung jawab tidak
cuma jadi penonton. Bagi saya pilihannya jelas,mengutuk kegelapan ini atau ikut
menyalakan lilin, menyalakan cahaya. Lipat tangan atau turun tangan. Saya pilih
yang kedua, saya pilih menyalakan cahaya. Saya pilih turun tangan. Di tengah
deretan masalah dan goncangan yang mengempiskan optimisme, kita harus pilih
untuk terus hadir mendorong optimisme. Mendorong muncul dan terangnya harapan.
Ya, mungkin akan dicurigai, bisa tidak populer bahkan bisa dikecam, karena di
jalur ini kita sering menyaksikan keserakahan dengan mengatasnamakan rakyat.
Tapi sekali lagi ini soal rasa
tanggung-jawab atas Indonesia kita. Ini bukan soal hitung-hitungan untung-rugi,
bukan soal kalkulasi rute untuk menjangkau kursi, dan bukan soal siapa
diuntungkan. Saya tidak mulai dengan bicara soal logistik atau pilih-pilih
jalur, tetapi saya bicara soal potret bangsa kita dan soal tanggung-jawab kita.
Tentang bagaimana semangat gerakan yang jadi pijar gelora untuk merdeka itu
harus dinyalaterangkan lagi. Kita semua harus merasa turut memiliki atas
masalah di bangsa ini.
Ini perjuangan, maka semua harus diusahakan,
diperjuangkan bukan minta serba disiapkan. Tanggung-jawab kita adalah ikut
berjuang -sekecil apapun- untuk memulihkan politik sebagai jalan untuk
melakukan kebaikan, melakukan perubahan dan bukan sekedar mengejar kekuasaan.
Kita harus lebih takut tentang pertanggungjawaban kita pada anak-cucu dan pada
Tuhan soal pilihan kita hari ini: diam atau turun tangan. Para sejarawan kelak
akan menulis soal pilihan ini.
Semangat ini melampaui urusan warna, bendera
dan nama partai. Ini adalah semangat untuk ikut memastikan bahwa Republik ini
adalah milik kita semua dan untuk kita semua, seperti kata Bung Karno saat
pidato soal Pancasila 1 Juni 1945. Tugas kita kini adalah memastikan bahwa
dimanapun anak bangsa dibesarkan, di perumahan nyaman, di kampung sesak-pengap
tengah kota, atau di desa seterpencil apapun, ia punya peluang yang sama untuk
merasakan kemakmuran, keterdidikan, kemandirian dan kebahagiaan sebagai anak
Indonesia.
Saya tidak bawa cita-cita, saya mengemban
misi. Cita-cita itu untuk diraih, misi itu untuk dilaksanakan. Semangat dan misi
saya adalah ikut mengembalikan janji mulia pendirian Republik ini. Sekecil
apapun itu, siap untuk terlibat demi melunasi tiap Janji Kemerdekaan. Janji
yang dituliskan pada Pembukaan UUD 1945: melindungi, mencerdaskan,
mensejahterakan dan jadi bagian dari dunia.
Kita semua sadar bahwa satu orang tidak bisa
menyelesaikan seluruh masalah. Dan cara efektif untuk melanggengkan masalah
adalah dengan kita semua hanya lipat tangan dan berharap ada satu orang
terpilih jadi pemimpin lalu menyelesaikan seluruh masalah. Tantangan di negeri
ini terlalu besar untuk diselesaikan oleh satu orang, tantangan ini harus
diselesaikan lewat kerja kolosal. Jika tiap kita pilih turun tangan, siap
berbuat maka perubahan akan bergulir.
Apalagi negeri ini sedang berubah. Tengok kondisi
keluarga kita masing-masing. Negara ini telah memberi kita amat banyak. Sudah
banyak saudara sebangsa yang padanya janji kemerdekaan itu telah terlunasi:
sudah terlindungi, tersejahterakan, dan tercerdaskan. Tapi masih jauh lebih
banyak saudara sebangsa yang pada mereka janji itu masih sebatas bacaan saat
upacara, belum menjadi kenyataan hidup.
Di negeri ini masih ada terlalu banyak orang
baik, masih amat besar kekuatan orang lurus di semua sektor. Saya temukan
mereka saat berjalan ke berbagai tempat. Saat mendiskusikan undangan ini dengan
anak-anak generasi baru Republik ini, saya bertemu dengan orang-orang baik yang
pemberani, yang mencintai negerinya lebih dari cintanya pada citra dirinya,
yang tak takut dikritik, dan selalu katakan siap turun tangan. Akankah kita
yang sudah mendapatkan yang dijanjikan oleh Republik ini diam, tak mau tahu dan
tak mau turun tangan? Pantaskah kita terus menerus melupakan -sambil tak minta
maaf- pada saudara sebangsa yang masih jauh dari makmur dan terdidik?
Bersama teman segagasan, kami sedang
membangun sebuah platformwww.turuntangan.org untuk bertukar gagasan dan
bergerak bersama. Ini bukan soal meraih kursi, ini soal kita turun tangan
memastikan bahwa mereka yang kelak mengatasnamakan kita adalah orang-orang yang
kesehariannya memperjuangkan perbaikan nasib kita, nasib seluruh bangsa.
Teman-teman juga punya pilihan yang sama.
Lihat potret bangsa ini dan bisa pilih diam tak bergerak atau pilih untuk turut
memiliki atas masalah lalu siap bergerak. Beranikan diri untuk bergerak,
bangkitkan semangat untuk turun tangan, dan aktif gunakan hak untuk turut
menentukan arah negara. Jalur ini bisa terjal dan penuh tantangan, bisa
berhasil dan bisa gagal. Tapi nyali kita tidak ciut, dada kita penuh semangat
karena kita telah luruskan niat, telah tegaskan sikap. Hari ini kita
berkeringat tapi kelak butiran keringat itu jadi penumbuh rasa bangga pada
anak-anak kita. Biar mereka bangga bahwa kita tidak tinggal diam dan tak ikut
lakukan pembiaran, kita pilih turun tangan.
Saya mendiskusikan undangan ini dengan
keluarga di rumah dan dengan Ibu dan Ayah di Jogja. Mereka mengikuti dari amat
dekat urusan-urusan di negeri ini. Ayah menjawab, “Jalani dan hadapi. Hidup ini
memang perjuangan, ada pertarungan dan ada risiko. Maju terus dan jalani dengan
lurus.” Istri mengatakan, “yang penting tetap jaga nama baik, cuma itu yang
kita punya buat anak-anak kita.” Ibu mengungkapkan ada rasa khawatir
menyaksikan jalur ini tapi Ibu lalu katakan, “terus jalani dengan cara-cara
benar. Saya titipkan anak saya ini bukan pada siapa-siapa, bukan kita yang akan
jadi pelindungnya Anies. Saya titipkan anak saya pada Allah, biarkan Allah saja
yang jadi pelindungnya.”
Itu jawaban mereka. Saya camkan amat dalam
sambil berdoa, Insya Allah suatu saat saya bisa kembali ke mereka dan membuat
mereka bersyukur bahwa kita ikut turun tangan, mau ikut ambil tanggung-jawab
–sekecil apapun itu- untuk republik ini. Ini adalah sebuah jalur yang harus
dijalani dengan ketulusan yaitu kesanggupan untuk tak terbang jika dipuji dan
tak tumbang jika dikiritik. Bismillah, kita masuki proses ini dengan kepala
tegak, Insya Allah terus jaga diri agar keluar dengan kepala tegak. Faidza
‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah … bulatkan niat lalu berserah pada Sang Maha Kuasa.
Semoga Allah SWT selalu meridloi perjalanan
di jalur baru dari perjalanan yang sama ini dan semoga semakin banyak yang
menyatakan siap untuk turun tangan bagi Republik tercinta ini.
Terima kasih dan salam hangat,
Anies
Baswedan
Jakarta
4 September 2013
Komitmen itu dimulai dengan kata, dan
mewujudkannya dengan menjalankan kata tersebut adalah tantangan seorang
pemimpin, “finally we need the leader who
walk the talk” ketika integritas
terjaga, komitmen dipenuhi , maka tiada keraguan untuk setiap anak bangsa untuk
memimpin negeri ini.
Sholawat mengalir merdu di Aula Nurkholis
Madjid
Alunan sholawat
mengalir, sholatulloh, salamulloh ala yasin habibulloh, sholatulloh salamulloh
ala yasin rosulillah
Beliau
tampil menyampaikan kata sambutan dan membuka sidang wisuda tepat tanggla 13
April 2012, wisuda dengan tanggal yang sama saat saya berhasil meraih doble
degree sebagai Sarjana Ekonomi dan Sarjana Pendidikan. Saya pun mendengar nama
saya dan kedua orangtua saya disebut, dihadapan saya seorang rektor tersenyum
didampingi dekan S2 Universitas Paramadina, Saya meyalam beliau dengan takzim
sesaat meletakkan tali topi toga saya kekiri, rasanya bahagia sekali.
Selepas acara wisuda beliau membaur
dengan keluarga wisudawan S2 termasuk saya, dan kata pertama yang saya dengar
adalah “ congratulation, finally you got itm So what next”?
Saya tahu
betul dari membaca biografinya, beliau
pernah menjadi tim riset otonomi daerah dan saya sempat berdikusi saat kuliah
dulu.
“
selanjutnya di senayan pak, mengkaji otonomi daerah kita” jawab saya
“ semangat
dan sukses selalu” katamya dengan optimis dan senyum yang karismatik
Dan jpret,
saya adalah wisudawan yang beruntung meski tak meraih nilai cum laude namun
Ibu, adik dan beserta paman saya mengabadikan momen bersama beliau di altar,
kelak akan jadi foto sejarahm apakah beliau akan menjadi leader di negeri ini?
Namun satu
yang tersirat di hati. Inilah ungkapan hati saya untuk sang guru bangsa, semoga
kita selalu berdampingan merawat Indonesia.
Inilah
suratku untukmu Pak Rektorku dan semoga kelak jadi mentorku..
“ Pak
Anies, sebagai mahasiswa yang pernah engkau didik, saya sangat simpati dan mengapresiasi langkah perjuanganmu,
menggags ide, mengimplementasikan dan mengajak dengan tindakan adalah bagian dari
ketauladanan, dan seorang pemimpin sejatinyaterpilih karena keteladanan yang dia
berikan, danmendengar banyak suara yang tidak disuarakan, karena yang ada adalah
kepekaan memandang kehidupan anak bangsa untuk mencapai kesejahteraan, keadilan
dan masyarakat yang berdab dan mandiri.
Melunasi janji adalah bagian dari gentlemennya seorang pemimpin, saya belum
pernah mendengar pernyataan tersebut, kecuali dari Bapak, semoga janji terbayar,
dan kelak saya akan hadiahkan buku sederhana yang saya tuliskan salam kumpulan narasi
dan puisi dan berikan untuk Bapak berjudul “ lelaki yang menenun Janji, saya akan
terus belajar mengikuti jejak bapak, semoga tetap arif dan bijaksana dalam langkah
Dan saya yakin dan percaya seorang
leader adalah seorang influencer, seorang leader tidak akan menciptakan
follower tapi seorang leader akan menciptakan leader, dan begitu banyak calon
leader masa depan Indonesia di berbagai bidang yang telah engkau motivasi,
inspirasi dan didik, welcome and congrat my leader ! Menjadi RI 1 di negeri ini
atau bukan engkau telah menjadi bagian inspirasi anak negeri, dan sejarah akan
mengenang semua kontribusi pemikiran yang engkau berikan dan kelak saya akan
berkata pada anak cucu saya, Here he is Mr, Anies Baswedan, leader of the top
leader”salam anak didikmu, Edrida Boru Pulungan
0 comments:
Post a Comment