Tulisan saya dimuat dalam Tabloid Inspirasi, Vol 4, No.81,25 November 2013
Pasar tunggal ASEAN membawa tantangan tersendiri
bagi sektor usaha dan bisnis di Indonesia, dimana Usaha Kecil Menengah (UKM)
adalah industri yang paling banyak mendapatkan imbasnya dalam menghadapi Asean
Economic Community 2015 karena serbuan produk barang dan jasa impor dari luar
menjamur dimana-mana, Padahal sektor UKM adalah “the backbone of national economy” (tulang punggung ekonomi
nasional) karena menyumbangkan sekitar sekitar 53 % PDB nasional, namun
realitasnya sektor UKM Indonesia yang
bergerak di bidang jasa masih sangat minim dalam transaksi bisnis dan
perdagangan internasional karena masih didominasi transaksi perdagangan barang
daripada jasa. Seperti kita ketahui liberalisasi sektor jasa akan mengakibatkan
mobilitas tenaga kerja terampil intra-ASEAN. Siap atau tidak siap tantangan dan
peluangnya yang sudah ada didepan mata harus kita sikapi dengan arif.
Adapun dua belas sebesar kategori besar yang
tercakup dalam liberalisasi sektor jasa
ASEAN antara lain, adalah (1) jasa bisnis, (2) jasa komunikasi, (3) jasa teknik
konstruksi dan teknik terkait, (4) jasa distribusi, (5) jasa pendidikan, (6)
jasa lingkungan hidup, (7) jasa keuangan, (8) jasa yang terkait dengan
kesehatan dan sosial, (9) pariwisata dan jasa yang terkait dengan perjalanan,
(10) jasa rekreasi, kebudayaan, dan olahraga, (11) jasa angkutan, dan (12) jasa
lainnya yang tak tercantum di sektor lainnya. Dirinci lebih jauh, 12 kategori
sektor ini dapat lagi terurai menjadi sekitar 160 klasifikasi yang ada dalam
cetak biru ASEAN Economic Community 2015 yang sudah disepakati bersama.
Berdasarkan
penelitian yang diadakan penulis tentang peran KADIN sebagai organisasi usaha
dalam mengembangkan sektor jasa UKM Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 pada
empat kota besar di daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi ditemukan
bahwa sektor usaha UKM dimana perdagangan barang merupakan transaksi
perdagangan paling dominan yang tumbuh pada priode 2005 hingga 2010 dan bukan
sektor jasa, dimana persentase tingkat
volume perdagangan barang berkisar 90 % sedangkan perdagangan jasa berkisar 10
%, Padahal sektor perdagangan jasa
merupakan potensi bisnis yang bisa dikembangkan untuk menghasilkan pendapatan
dan membuka banyak peluang lapangan pekerjaan jika bisa dikelola dan
dikembangkan dengan baik sehingga mampu menghadapi arus jasa yang terus
menggempur Indonesia. Sangat berbeda dengan negara India, Thailand, dan
Filipina, yang sangat kuat di bidang jasa perbankan, manajemen pelatihan,
hingga keuangan. Hal ini disebabkan karena tenaga kerja di negara-negara
tersebut diberikan pelatihan yang intensif dan cukup memadai sehingga mampu
berdaya saing.
Salah
satu tantangan Pemerintah Indonesia adalah maraknya protes buruh pabrik
sehingga perlu upaya pemerintah dalam membuat kebijakan yang jelas mengembangkan
daya saing dari pekerja terampil Indonesia. Agenda prioritas kebijakan
pemerintah harus fokus pada peningkatan daya saing pekerja terampil,penanganan
persaingan tenaga kerja yang murah di negara ASEAN, sehinga tantangan tersebut
bisa berubah menjadi potensi dan peluang dalam mempersiapkan tenaga kerja
Indonesia yang terampil, ahli dan berdaya saing.
Untuk
itu perlu strategi dalam memenangkan gempuran arus jasa dengan memetakan sektor
jasa industri nasional melalui Pemerintah guna menghadapi ASEAN Economic
Community (AEC) 2015, mengingat masih minimnya transaksi sektor jasa di
Indonesia karena rendahnya kulitas tenaga kerja
terampil dan ahli di Indonesia. Hingga saat ini sebagian besar tenaga
kerja Indonesia (TKI) adalah tenaga
kerja kasar padahal kontribusinya perdagangan sektor jasa saat ini punya
peluang yang sangat besar dari berbagai bidang yang bisa dikembangkan seperti
bidang pendidikan, ekonomi, pariwisata, kesehatan dan sebagainya.
A.Pemetaan
Sektor Industri Jasa Nasional
Pemerintah
perlu mendata kelemahan dan kelebihan sektor jasa industri nasional untuk
meningkatkan sektor jasa nasional, pemerintah perlu membuat standar kompetensi
dalam industri jasa, yang bisa dilakukan oleh masing-masing organisasi
industri, karena arus bebas tenaga kerja pada saat AEC tidak bisa dielakkan.
Jika semua tenaga kerja sektor jasa dibebaskan, artinya pekerja di subsektor
jasa terkait yang diliberalkan itu bebas dimasuki pekerja asing dari ASEAN.
Untuk itu perlu membuat standar kompetensi yang dipersyaratkan. Sehingga
Pemerintah Indonesia juga mampu memproteksi tenaga kerja lokal dan mampu
mengurangi penganguran dan potensi criminal yang tinggi karena ketimpangan
kesejahteraan ekonomi dan sosial
masyarakat.
Dalam
perjanjian ASEAN ada beberapa sektor
jasa bidang industri akan diliberalkan. Dengan kata lain, tenaga kerja di
sektor jasa yang diliberalkan bisa bebas berpindah antar negara di ASEAN.
Karena berdasarkan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), pada 2010
telah ditargetkan 80 subsektor yang diliberalkan dan baru tercapai pada 2012.
Dan 80 subsektor tersebut berbeda perkembangannya untuk setiap
negara, Sementara itu, untuk AFAS 9 yang sudah memasuki perundingan metargetkan
ada 104 subsektor yang akan diliberalkan.
Karena
pada tahun 2015, AFAS 10 menargetkan 128 subsektor diliberalkan. Sehingga
Indonesia harus siap dengan tantangan ini. Dalam roadmap liberalisasi jasa
ASEAN pada 2010, sekor jasa yang sudah masuk antara lain empat sektor
prioritas, yaitu air transport, e-ASEAN,
healthcare dan tourism. Pada
2013, sektor logistik yang meliputi jasa pergudangan, pengepakan, kargo, kurir,
dan jasa pengiriman barang akan masuk.
Pada 2015, ditargetkan semua sektor lain masuk. Untuk bisa memenuhi
target tersebut, pemerintah dituntut untuk membuat kebijakan yang mendukung
perdagangan jasa.
Untuk
itu kebijakan pemerintah harus
terkoordinasi dan sinergis mencakup pemerintah pusat, regional dan
lokal. Menurut data Kementerian
Perindustrian tahun 2010, sektor jasa Indonesia pada 2009 berkontribusi 45%
dari total perekonomian. Untuk itu peran sektor jasa perlu ditingkatkan sebagai
input bagi semua sektor ekonomi, terutama jasa-jasa infrastruktur (keuangan,
telekomunikasi, transportasi, logistik) sangat krusial untuk mendukung
pertumbuhan dan daya saing perekonomian nasional.
B.
Peningkatan Daya saing Nasional
Beberapa faktor yang menyebabkan
rendahnya daya saing sektor jasa di Indonesia adalah rendahnya sumber daya
manusia (SDM), kurangnya lembaga pelatihan dan ketempilan, birokrasi dan
standarisasi kinerja tenaga kerja. Menurut laporan Bank Dunia, terdapat
kesenjangan besar dalam kualitas pekerja terampil Indonesia. Disebutkan bahwa
kesenjangan terbesar adalah penggunaan bahasa Inggris dengan persentase 44 persen, keterampilan
penggunaan komputer berkisar 36 persen,
keterampilan perilaku dengan persentase sebesar 30 persen, keterampilan
berpikir kritis berkisar 33 persen, dan keterampilan dasar membaca dan
berhitung berkisar 13 persen.
Hal
ini dibuktikan dengan masih rendahnya daya saing industri di pasar
internasional. Menurut GCI (Global
Competitivenes Index), pada tahun 2010 peringkat daya saing Indonesia di
antara negara anggota ASEAN, Indonesia berada pada urutan ke-5 setelah
Singapura (3), Malaysia (26), Brunei (28), Thailand (38), dan berada di atas
peringkat Vietnam (59), Filipina (85), dan Kamboja (109). Artinya Indonesia
harus meningkatkan lagi daya saingnya di tingkat regional ASEAN, sehingga bisa
menjadi excellent service leader yang mengungguli negara-negara ASEAN di
bidang jasa. Untuk itu perlu bagi Pemerintah dan semua elemen seperti swasta,
dan masyarakat aware dan siap dengan AEC 2015 yang sudah di depan
mata.
Sebagai
contoh adalah kebutuhan tenaga medis di Indonesia seperti dokter dan perawat,
banyak tenaga medis Indonesia kini berasal dari Philipina dan Vietnam yang bekerja di rumah sakit Indonesia, karena
posisi Indonesia masih berada pada pengelompokan kompetitif menengah dan harus
bersaing dengan kedua anggota negara ASEAN tersebut. Faktornya antara lain
karena keterbatasan dalam penggunaan bahasa Inggris oleh tenaga medis Indonesia
yang masih memposisikan bahasa Indonesai sebagai bahasa asing dan bukan bahasa
kedua.
Dalam
hal ini, bisa disimpulkan jumlah dokter dan perawat di Indonesia masih jauh
tertinggal dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Rasio dokter dengan jumlah
penduduk berada pada angka 0,3 untuk setiap 1.000 penduduk. Jauh tertinggal
dibandingkan dengan rasio Singapura (1,7), Malaysia (1,2), dan Filipina (1,1).
Demikian juga untuk perawat, rasionya adalah 2,0, sementara Singapura (5,2),
Malaysia (2,4), dan Filipina (4,3). Untuk itu mampukah tenaga kerja medis kita
bersaing.
Untuk
itu Pemerintah perlu untuk memperhatikan permasalahan tersebut dan membangun
startegi dan grand design yang
bersifat nasional, baik di tingkat
kompetensi SDM pusat mupun daerah dalam rangka peningkatan daya saing,
maka pembangunan sektor industri jasa nasional yang sinergi dengan daerah
dilakukan melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama yaitu pendekatan top down,
merupakan pembangunan industri sektor jasa
dibidang keahlian dan keterampilan
dengan tingkat kompetensi tertentu (grading)
yang direncanakan (by design) dengan
memperhatikan prioritas dan memenuhi kriteria yang ditentukan secara nasional
dan diikuti oleh partisipasi daerah melalui kebijakan industri secara nasional
dilakukan dengan menentukan industri prioritas.
Pendekatan
kedua adalah bottom-up yaitu melalui
pemilihan dan penetapan kompetensi jasa
inti yang merupakan keunggulan sektor industri jasa SDM daerah sehingga
memiliki daya saing. Pengembangan kompetensi inti industr SDM daerah diharapkan
mampu meningkatkan daya saing industri jasa nasional karena pengembangan
industrinya lebih fokus dan lokusnya juga jelas, sehingga kinerja menjadi
terukur dan mudah dievaluasi program pengembangannya.
Dalam
pendekatan tersebut, Kementerian terkait harus membangun pengembangan kompetenasi inti industri jasa SDM di daerah
melalui identifikasi kompetensi inti industri jasa dan fasilitasi lainnya.
Namun demikian, perlu membuat kajian khusus untuk menentukan kempetensi inti
industri jasa yang dimiliki oleh
kabupaten/kota yang belum menyentuh dari
sisi peluangnya. Misal skill yang dimiliki seperti terampil administrasi,
perpajakan, perawatan, pelayanan, dan sebagainya sedangkan keahlian yang
dimiliki seperti ahli anestesi, ahli bedah, ahli pelatihan dan sebagainya yang
lebih dekat pada sertifikasi profesi.
Adapun hasil kajian kompetensi inti industri jasa yang
dihasilkan bisa menjadi semacam rekomendasi bagi daerah dalam rangka
mengembangkan sektor industrinya. Permasalahan yang juga dihadapi oleh daerah
saat ini, antara lain karena konsep kompetensi inti industri jasa beserta manfaat-manfaatnya yang
belum diterapkan secara benar dalam perencanaan perekonomian daerah, nasional
dan regional.
Dengan
demikian Indonesia dapat memenuhi lapangan kerja di dalam negeri dan bisa
bersaing dengan tenaga kerja asing karena sudah terampil dan ahli dibidangnya
dan tidak menutup kemungkinan adanya pergerakan tenaga kerja ahli Indonesia ke
luar negeri sebagai tenaga kerja yang
terampil dan bermartabat sehinga kita tidak lagi mendengar kasus adanya TKI
Indonesia di negara Asia dan Timur Tengah yang dihina dan mengalami penyiksaan,
dan tidak dipenuhi haknya. Dari segi pemerataan ekonomi akan meningkatkan pendapatan tenaga kerja Indonesia yang dengan sendirinya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN.
Disamping
itu untuk menangani konflik tenaga kerja yang terus bermunculan, seperti contoh kasus tenaga kerja migrant Indonesia
dan Malaysia maka Pemerintah harusberupaya melindungi warga negaranya
melalui upaya diplomasi dan pembuatan
kesepakatan bilateral dengan menyusun
nota kesepahaman bersama (Memorandum Of
Understanding) yang bertujuan menjmin hak dan kewajiban para tenaga kerja
Indonesia sehingga tercapai kesejahteraan antar kedua negara.
Lebih
lanjut lagi untuk sinergi antara pemerintah pusat dan daerah maka perlu
menyusun peta panduan pengembangan industri jasa keunggulan daerah tersebut
dalam peta panduan pengembangan kompetensi inti sebagai wujud komitmen bersama
antara pusat dan daerah, sehingga menjadi pedoman operasional bagi daerah dalam
menyusun perencanaan pembangunan industri jasa di daerah. Sebagai contoh sektor
industri pariwisata di daerah Bali membutuhkan tenaga kerja jasa terampil di
bidang perhotelan, hospitality,
restoran, dan sebagainya membutuhkan standar kompetensi tertentu yang bisa
dikembangkan. Dan amsih banyak lagi daerah-daerah di Indonesia yang bisa
mengembangkan sektor jasa di daerahnya dengan mengenali potensi keunggulan
daerah tersebut, dan tentu saja sektor Pariwisata sangat dominan untuk
dikembangkan di Indonesia dengan mengeksplorasi jasa di bidang budaya, kuliner,
wisata gunung, laut , pantai dan sebagainya.
Tulisan saya berjudul "Perhatikan Sektor Industri Jasa di MEA 2015, hal 14.
Indonesia harus bisa menelaah daya saing SDM
bangsa yang secara analisis bisa diunggulkan dan membenahi kelemahan sektor
jasa lainnya secara bertahap, dan hal ini bisa dimulai dengan pendidikan dan
pelatihan yang dilaksanakan melalui kerjasama internal (pemerintah dan swasta) dan eksternal (kerjasama antar lembaga pendidikan,
pelatihan, universitas ASEAN dan luar negeri). Semoga Indonesia akan kembali
menunjukkan kejayaannya sebagai negara besar menuju kesejahteraan bangsa dengan
mempersiapkan Sumber daya manusia yang terampil dan ahli melayani serta sebagai
bangsa bermatabat yang berdiri sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Salam
ASEAN.
0 comments:
Post a Comment