Monday, April 14, 2014

Surat Imam

Surat Imam
Oleh : Edrida Pulungan



Seorang perempuan tanpa sengaja membaca lembaran tengah agenda kerja berwarna hitam. Meskipun sudah cukup tua dia masih mampu membaca dengan kacamatanya yang agak melorot kebawah.Sesekali matanya menyipit melihat tulisan tangan klasik bertali mirip tulisan tangan suaminya.
Matanya masih tajam membaca beberapa aksara yang terlihat rapat itu. Ada senyuman tipis namun terlihat jelas dibibirnya. Perempuan berkepala lima itu membaca tulisan anaknya.
“Salam dengan Senyuman”
Assalamu alaikum wr.wb.
Ini hanya sepucuk surat. Entah untuk siapa surat ini kutujukan. Tapi tak masalah siapapun yang membaca surat ini. Jika dia lelaki akan kujadikan saudara, Jika dia perempuan baca dan ambil hikmahnya saja ya :)
Perkenalkan Namaku Imam. Ada nama panjangnya tapi cukup panggil diriku singkat aja. Aku yakin semua wanita yang masih sendiri pasti ingin menemukan imamnya sebagai pendamping hidupnya. Tentu aku paling dicari bukan? Tapi untuk apa sih aku ge er dengan nama pemberian orangtuaku ini. Jika aku toh juga masih sendiri. Meski aku lelaki ndeso yang terlahir di desa selatan jogja, Tapi aku cukup bahagia dan eksis di ibukota. Mungkin karena aku terlahir sebagai lelaki sederhana yang gak neko-neko dan selalu optimis.
Perawakanku biasa, tinggi dengan kulit hitam manis. Jauh dari tampang pria metropolis. Tapi gini-gini aku aktivis dan ketua organisasi ektrakurikuler di kampus. Aku sudah menyelesaikan s2 di kampus paling top di Indonesia dan aku masih saja dengan idealismeku. Tapi jangan tanyakan kenapa sampai sekarang aku masih sendiri. Bukannya diriku tak percaya dengan cinta dan romansanya. Namun siapa yang mau dengan seorang aktifis yang masih realistis dengan hidup. Aku memang dianggap berilmu dan wise diantara teman-temanku, namun soal cinta selalu miris. Aku cuma mau perempuan yang sederhana, mencintai ilmu dan taat beragama. Agar sama-sama mengamalkan ilmu agar semua berkah.
Tapi untuk poin ketiga jangan anggap aku sok religius. Tapi aku ingin meneruskan jejak abah membina pesantren kecil-kecilan di kampung. Ibukota sudah banyak orang cerdas dan pintar. Aku ingin menepi bersama dia perempuan yang kupilih dan memilihku tentunya.
Cinta itu tidak ribet dan sederhana bukan? setidaknya aku juga berniat membangun keluarga kecilku kelak dengan ilmu, bukan terjun bebas dan menjabarkan banyak ayat agar perempuan yang kupinang kelak yakin rezeki Allah akan melimpah dan mau saja kunikahi. Padahal kadang ini hanya gombal yang dengan retorika agar perempuan itu mau (maaf untuk kaum adam yang pakai modus ini ya). Toh niat baik akan menemukan jalannya, begitu juga sebaliknya bukan?
Jika perjalanan waktu membawaku pada pertemuan dengan seorang perempuan yang akan kumuliakan itu, maka tentu aku dan ibu akan jadi orang yang paling bahagia. Karena dari dulu dia tidak pernah melihatku bersama seorang perempuan. Sampai ibu khwatir apakah aku lelaki normal:) . Tapi satu hal saja yang aku ingin sampaikan dalam suratku ini. hoi , diriku sudah siap jadi imam, apakah ada yang siap jadi makmumku?
Surat ini ternyata dibaca oleh Ibunya Imam sambil tersenyum sumringah. Surat ini ada dalam buku harian puteranya dengan mushaf kecil di sampingnya.
Ibunya membatin. “Anakku Ibu doakan kelak engkau mendapatkan makmum yang baik dan  kelak pertemuan kalian  akan terwujud karena cintaNya”
Ibu Imam berjalan menuju ruang depan. Dia memandangi photo Imam saat wisuda. Disampingnya ada photo waktu imam kecil dengan 4 saudaranya dan duduk manis disamping suaminya.
Dia teringat masa indah bersama keluarga besarnya. Imam adalah anak pertama. Suaminya yang bertugas sebagai pegawai negeri sering keluar kota. Bahkan jelang usia kandungannya sudah delapan bulan. Namun untunglah suamninya selalu setia menelponnya dan menayakan khabarnya, sehingga dia merasa kuat mengandung calon bayinya.
        Imam lahir pada hari minggu jelang shubuh hari. Semua keluarga besar begitu bahagia menyambut kehadirannya. Apalagi dia cucu pertama. Begitupun suaminya sempat mengazankan Imam buah hati mereka. Namun hingga Imam punya empat adik keempat, dia tersadar bahwa sakit suamninya membuatnya harus memikirkan ekonomi keluarga. Perempuan kepala lima itu mencari pekerjaan untuk menutupi biaya sakit suaminya dengan menjahit . Untungnya dia punya keterampilan menjahit yang dia peroleh otodidak. Mesin jahit bekas Ibunya masih bisa dimanfaatkannya untuk menerima pesanan beberapa tetangga dan langganannya mulut ke mulut. Begitulah keluarga mereka bertahan.
       Sedangkan Imam sebagai anak lelaki satu-satunya juga cukup tahu diri dengan kondisi keluarganya. Dia terharu dan bahagia karena Imam anak yang bisa diandalkan dan ikut  meringankan bebannya sebagai tulang punggung keluarga dengan bekerja sebagai pengajar privat disela-sela kuliahnya. Dan membantu biaya sekolah adik-adiknya. Hingga suaminya wafat karena sakit diabetes dan mereka tetap bertahan dengan kondisi yang sulit.
Namun Tuhan tidak pernah tidur. Imam sosok tangguh mendapatkan pekerjaan bergengsi di perusahaan minyak dan telah menyelesaikan S2 nya di Belanda hingga kembali ke tanah air. Sungguh di akagum pada puteranya itu. Meskipun selalu ada yang mengganjal dalam hatinya. Hingga sekarang puteranya itu masih sendiri dan belum menemukan pendamping. Dia kadang heran apakah Imam tidak memikirkan masa depannya.
Sudah seminggu dia menemani puteranya di Jakarta. Imam puternya rindu dengan masakannya. Akhirnya perempuan berusia kepala lima itu mengunjungi puteranya karena Imam memang anak yang patuh diantara anak-anaknya. Namun bukankah cinta seorang perempuan yang akhirnya menjadi istri dan ibu kelak selalu bermuara dan menjadi mata air kehidupan untuk anak-anak dan suaminya?
ting tong..ting tong
Suara bel berbunyimemecah keheningan rumah berlantai dua itu.
Seorang ibu keluar dengan terburu-buru menyambut seorang di depan. Ternyata Imam puteranya. Dia tersenyum dan memeluk puternya. lelaki itu dengan takzim mencium telapak tangan ibunya dan memeluknya.
” Bu saya sengaja pulang kerumah buat makan siang lho,masak apa bu”
” biasa makanan kesukaanmu ,sambal ikan ms goreng dengan sayur bening”
“wah ibu chef hebat sedunia ya, terimakasih bu”
” ibu mah chef hebat abahmu mam, makanya kamu harus ketemu chef perempuan yang lain dong”?
” oh ya siapa bu”
” ya, istrimu kelak dong, sang  makmum”
” huk,,huk, ah ibu bis aja” Imam hampir tersedak namun tetap tersenyum.
“ apa lagi toh yang kamu cari Imam, kamu sudah selesai S2 dan membantu adik-adikmu sekolah hingga sarjana. Alhamdulillah juga kamu sudah punya rumah. Menikahlah nak”
“ benar nih bu, nanti gimana kalau ibu merasa sendirian? Gimana kalau menantu Ibu kelak tidak peduli sama Ibu. Ibu nanti merasa sendirian?
“ Imam, jangan berpikir sejauh itu, bagaimanapun setiap manusia punya perjalanan hidup yangberbeda. Kamu juga harus memikirkan masa depanmu. Doakanlah Ibu nak. Ibu sangat bahagia. jika engkau bahagia”
“ Ibu yakin, semua adik-adik tinggal di luar kota dan Ibupun sendiri di rumah”
“ Ibu tidak sendiri bukan, kan ibu bisa menguinjungi kalian juga satu persatu. Lagian Ibu juga senang tinggal di rumah peninggalan Bapak kalian. Toh disana banyak kenangan manis yang tak bisa Ibu lupakan. Saat kalian masih kecil hingga semua merantau. Tetap semua kenangan bahagia begitu indah di rumah itu.
Imam merasa haru mendengar penjelasan Ibunya. Matanya berkaca-kaca. Tak sanggup rasanya dia mengatakan pda Ibunya bahwa sejujurnya dia juga sudah ingin menikah. Namun dia benar-benar ingin tahu perasaan Ibunya yang paling dalam. Dia takut Ibunya merasa tersinggung dan ditinggalkan jika Imam menikah kelak. Namun ternyata Ibunya seorang perempuan berhati mulia. Wanita yang membuatnya merasa bangga dan bahagia memiliki ibu yang pengertian.
Imam menghambur kepelukan ibunya. Dengan suara yang terisak
“ terimakasih atas doa dan restu Ibu. Jangan khawatir bu. Imam akan segera menikah dan menemukan perempuan yang penuh kasih sayang dan mencintai keluarganya dalam suyka dan duka seperti Ibu”
“ ya nak, kamu pasti menemukan perempuan yang baik untuk istrimu, karena engkau adalah anak yang memuliakan ibu dan sayang apda adik-adikmu. Almarhum Ayahmu pasti bangga padamu nak”
“ ya dong bu, karena ketampanannya menurun pada saya bukan?”Imam mencoba berkelakar menghangatkan suasana yang penuh haru”
“ ya pasti itu, makanya tidak ada yang bisa menggantikan cinta ayahmu nak, dan tiada yang setampan beliau”
Perempuan itu setengah tersenyum dan menahan tawanya. Dia tahu Imam paling bisa menghibur hatinya. Imam berhasil jadi imam baginya dan anak-anaknya yang lain, saat suamiya wafat.
Perempuan itu hanya memainkan sebelah matanya. Begitulah Ibu selalu ada dalam duka dan bahagia.
Bendungan Hilir, Limboto 121

1397448477251482503
ilustrasi surat imam doc infoanakbunda.blogspot.com

0 comments:

Post a Comment