Monday, December 22, 2014

Dua Hati Tak Cukup Untuk Cinta



Dua Hati Tak Cukup Untuk Cinta
Oleh : Edrida Pulungan

Sepersekian detik arum menarik nafas. Ada rasa gelisah dan lelah dihatinya. Keraguannya selama ini  terjawab sudah. Jawaban-jawaban Pras di bbm chat mereka sudah sangat clear. Pras memang jarang menelepon, bbm chatnya juga sering lambat merespon. Arum seolah merasa tersudut karena harus menanyakan kemana arah hubungannya dengan Pras. Karena mereka sudah mulai empat bulan berkomunikasi intens. Pras  juga tak pernah menyampaikan maksutnya secara jelas kepada Arum kecuali soal pekerjaan dan bisnis-bisnis yang dijalaninya, bahkan cerita tentang organisasi atau komunitas sosialitanya. Bagi Arum sifat Pras yang terlalu workaholic membuat mereka tak pernah bisa mengambil waktu bicara serius tentang hubungan mereka. Pram dan Arum sebenarnya dua sosok yang  karakternya persis sama. Keduanya sama-sama aktif,  peduli keluarga, pekerja keras dan suka travelling. Namun persamaan diantara mereka belum mampu menautkan dua hati.
Arum yang sudah pernah menjadi seorang seorang sekretaris executive di perusahaan oil dan gas akhirnya mengundurkan diri. Perempuan yang sudah berkarir 10 tahun itu melepaskan posisinya agar bisa menjalani hidup lebih normal dan seimbang. Akhirnya ia memutuskan pulang kembali  ke kampong halamanya Joga untuk menemani ibu di masa tuanya juga membantu usaha batik ibunya, sambal merawat ayahnya yang mulai sepuh dan sakit diabetes.
Namun dibalik semua itu Arum mencoba membuka hati, memberi ruang dan membiarkan waktu melebur dalam kehidupannya yang baru. Arum memulai hidupnya di jogja dan melupakan Pras
**
“perjalanan kita ini kemana arahnya mas Pras, saya takut menjalani sesuatu yang tak ada tujuannya”
“ arah pembicaraan kita kemana ya”?
Pras seolah cuek dan tak mengerti.
Arum menahan rasa emosi dan resahnya. Bagaimanapun butuh keberanian bertanya pada seorang laki-laki dewasa, namun lebih baik baginya untuk memenemukan titik terang daripada dalam gelap dan perasaan yang pengap. Arum bertanya karena selama ini komunikasi mereka lancar saja dan sering diskusi dan berbagi banyak hal. Bagi Arum itu awal yang bagus, dan Pras pernah mengawali perkenalan merak dengan kalimat sakral” bismillah”. Bagi Arum itu sudah jadi fondasi yang baik untuk melangkah.Baginya bismillah itu adalah melibatkan Allah dalam hubungan mereka. Meskipun tidak selamanya demikian. Allah lah yang membolak-balik hati masnusia. Arum mencoba bersabar dan mengerti itu.
Tapi entah mengapa dia tak bisa melupakan Pras. Sosok yang dikenalkan oleh Ratih sahabatnya sebelum Ratih meninggalkan Jogja untuk mengikuti suaminya selepas menikah dan bermukim di Austria. Tapi lucunya Ratih sempat mengingatkan bahwa Pras sosok yang sangat pemilih, jadi jangan juga terlalu berharap. Tawaran yang sangat lucu dari Ratih. Akhirnya Arum mau memberikan nomer hp nya kepada Pras melalui Ratih. Dan komunikasi meraka mulai terjalin.
Namun ucapan Pras yang tanpa kepastian membuat Arum merasa terhempas. Pras mengatakan hanya tiga kata saja dengan datar. Kita jalani aja, kita butuh pendekatan lagi”. Gubraaak. Seperti itukah. Arum selama ini sudah sangat terbuka. Bagi Arum itu sama saja dengan memperhalus bahasa penolakan Pras saja.
Lelaki itu ternyata pemberi harapan palsu.  Arum merasa semua sudah  usai dan tidak mau lagi berputar-putar dalam hubungan tanpa kejelasan. Apalagi Pras tidak memberikan satu perkataanpun yang mengarah pada komitmen menuju pernikahan.Waktu yang sangat sia-sia dengan orang yang tidak tepat.
Arum diam dalam kelam. Mencoba tersenyum. Menikmati rasa kecewa terkadang bisa mengembalikan kelembutan hatinya. Ada pelajaran baru yang dia dapatkan. Menerima sesuatu yang terjadi begitu saja tanpa berupaya memperjuangkannya kadang lebih melegakan.  Arum tak berniat membuka ruang hati dan berkomunikasi klagi dnegan Pras. Cukup sudah. Karena baginya cinta adalah kado istimewa dari Tuhan atas dua hati dan tidak bisa dipaksa dan direkayasa untuk mendapatkannya. Jika ngotot juga hasilnya tak akan baik. Bagai mengayuh dayung seorang diri.
Arum menarik nafas, dia merenung lebih baik menemukan sepotong hati yang utuh baginya. Seperti suara lagu yang dia dengar dari Club Eighties “ Dari Hati”
Semua memang harus dari hati dan Arum harus sadar Pras tak punya hati untuknya apalagi cinta. Mungkin bagi Arum menemukan cinta sejati sama dengan menemukan frekwensi yang tepat di radio diantara banyak gelombang. Maka suara yang jelas kana terdengar enak dan indah di telinga, jika frekwensinya tak tepat suara akan samar dan nyaris tak terdengar. Begitu juga dengan cinta harus dalam dua frekwensi hati yang sama. Butuh waktu. “Time will heals the wound.”
::
Arum mencoba realistis. Toh bagi Arum tak ada lagi yang dia kejar. Tabungannya selama bekerja cukup untuk kehidupannya beberapa tahun kedepan untuk mulai bekeja lagi dengan aktifitas baru di Jogja. Begitu juga dengan adik-adiknya yang sudah mulai mandiri dan bekerja setelah lulus kuliah. Meskipun dulu Arum benar-benar berjuang dan bekerja keras untuk membantu adik-adiknya sekolah. HInga akhirnya semua mereka sarjana dan tiga diantara liam adiknya sudah menikah.
Kini saatnya bagi arum menikmati waktunya memikirkan dirinya sendiri. Keluarga besar banyak yang nmenginginkan dia menikah. Namun arum menahan diri  untuk tetap sabar emnaggapi omongan yang kadang begitu pedas di telinga.
Bagi arum pertanyaan itu tidak terlalu dia pusingkan. Karena pernikahan baginya bukan lomba lari yang harus lebih dulu mencapai garis finish. Kadang cinta datang terlambat dan kadang dating begitu cepat. Hanya butuh hati yang siap ketika cinta datang dan pergi. Arum menemukan hatinya kembali dalam jeda. Mengobati sisa luka. Inilah waktu yang pas bagi Arum untuk move away memang Usianya sudah kepala tiga tak ada kamus pacar-pacaran lagi baginya yang ada hanya menunggu lelaki yang berkomitmen jadi calon suaminya.
**
Arum membersihkan layar percakapannya dengan Pras di BB nya semalam. Daripada terkenang sesuatu yang hilang. Toh Pras juga tak menelponnya. Sama saja dengan menganggap Arum baginya hanya teman biasa. Bagi Arum semua seperti cerita komedi bukan cerita tragedi lagi. Bukankah dulu dia juga tak mengenal lelaki itu, tiba-tiba saja laki-laki yang dia suka suara tawanya itu “ngontrak” di pikirannya tanpa bayar. Arum tersenyum dan membuka jendela kamarnya. Masih pagi. Suara ayam terdengar nyaring, Dia mau membantu si mbok menyiapkan sarapan nasi kuning buat Bapaknya.
Bangun lebih pagi tanpa ada yang dikejar dan diburu, bahkan taka da macet adalah satu kesyukuran baginya yang tinggal agak di pinggir kota jogaja.
Jogja begitu indah di kala pagi. Sisa kabut belum hilang bersanding dengan pemandangan gunung yang indah didepan mata. Simponi alam yang terlupa dan dekat dengan manusia.
Arum membidik beberapa shot dari Nikon 3100 mengabadikan musisi jalanan yang sedang menghibur orang-orangsarapan sedang menikmati lontong sayur dan pecel lele diangkringan. Sejenak dia merasa bahagia bisa menikmati suasana kota. Dulu saat menjadi sekretaris bos, kerjanya sampai malam. Mulai dari breakfast meeting sampai dinner meeting dan report-report yang harus dikerjakan tuntas dengan deadline yang begitu banyak karena perusahaannya mulai besar dan ekspansi keluar negeri. Dan sekarang waktu begitu lambat di kotanya, Jogjakarta.
**
Arum masih semangat menjepret beberap shoot. Tiba-tiba dia menyenggol seorang Ibu dengan keranjang belanjaannya di pasar umbul Harjo. Langsung Arum jongkok dan memungut sayur-sayuran dan buah yang berserakan dari keranjangnya.
“ Taka apa nak, saya yang buru-buru”
“ maaf Ibu, ibu mau kemana”?
“ rumah saya dekat cuma 50 meter ke utara”
“ oh saya bantu aja ya bu, gimana”
“ wah ndak apa toh, saya memang  buru-buru harus masak, anak saya baru lulus sekolah keluar, Jadi buat acara syukuran biasa”
“oh senang sekali bu, mari saya bantu”
Arum menninjing sayuran ditangannya dan memegang tangan ibu tua yang baruu ditabraknya meneybrang jalan yang mulai rame.
“ makasih, makasih nak, kita sudah dekat lewat gang kecil ini”
Arum sampai juga di rumah kayu berlantai dua yang asri dengan halaman yang agak luas. Ada dipan sederhana dan tanaman buah jambu air di depannya. sesekali juga  terdengar kicauan burung dari pojok ruangan samping. Rumah yang teduh dan nyaman. Seorang sosok laki-laki terburu-buru keluar dan mengambil keranjang dari tangan ibunya. Perawakannya tinggi, rambutnya agak pirang, sorot matanya teduh namun agak tajam memandangi Arum.
“nak ini anak saya, kenalkan namanya Setyo”
“ arum ms”
“ Oh Arum”
“ saya Setyo”
“Tadi nak Arum jumpa di pasar dan ibu terburu-buru, belanjaan ibu jatuh, nak arum mau ngantarin kemari Yo”
“ Oh gitu Bu. Makasih Arum, silahkan masuk, maaf masih bernatakan ya. saya lagi berkemas-kemas nih, dan gak ahli klu masukin baju, semua mau dimasukin. tetap aja ada yang kurang, hehehe”
“ nanti aja ibu yang beresin yo. ayo kamu ngobrol aja sama Arum, ibu ke dapur dulu ya buatin teh”
“ duh bu gak usah repot-repot. Saya bantu ibu aja masak” jawab arum singkat
“ emang bisa masak” kata Setyo setengah tak percaya dengan alisnya yang hampir bertaut melihat tangan arum yang baru disalaminya halus mulus dan tidak kasar seperti tangan ibunya yang berhati lembut itu.
“ ya bisa sedikit walaupun tak sekelas chef bintang lima lah mas” kata arum bergurau memancing tawa diantara mereka.
“ nak arum ini lucu juga ya, mari sama Ibu”
“ Saya boleh ikutan Bu” Tanya setyo
“Setyo malah goreng tahu kemarin hangus, rum?
“hehhehe, jangan buka rahasia dong Bu”
Sebentar Setyo ganti baju dulu ya bu”
**
Arum merasa senang pengalaman baru hari ini. Rupanya Setyo anak satu-satunya dan Ayahnya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Setyolah yang selama ini menjaga ibunya. Kuliah dan sambil bekerja di sebuah LSM lokal. Namun siapa sangka sosok lelaki sederhana dan humoris itu akan mengambil kuliah doktoralnya di Austria, negeri Eropa yang sangat indah dengan kulaitas pendidikan terbaik untuk ilmu humaniora. Negara yang pernah dia kunjungi untuk presentasi bisnis lima tahun lalu. Namun kekaguman Arum pada Setyo ditepisnya karena ingatan pada Pras, ketika dia berharap cinta hadir malah semua berakhir.
**
Arum menikmati the poci hangat sambal menikmati kicauan burung dui serambi depan rumah pras.
“ sedang mikirin apa rum”
“ gak ada kok mas”
“ oh ya, terimakasih ya sudah berkunjung ke rumah saya yang sederhana dan bantuin ibu dari pasar dan masak disini”
“makasih juga diundang tak langsung buat syukuranmu ya mas, semoga kuliahnya lancar disana, dan bisa kembali ke jogja”
“makasih Rum, aku sebenarnya tak pernah tega ninggalin ibu sendiri, ingin kubawa serta denganku ke Austria. Tapi pasti ibu tak betah karena sudah terbiasa dengan Jogja dan dia selalu ingin di Jogja dan berada di rumah ini, rumah peninggalan Bapak dan disini  banyak sekali kenangan indah baginya dan bagi saya rum”
“ jadi gimana, kalau ibu tak ikut, tetap studi ke Austria jua”
“ saya sudah pernah menunda beasiswa studi ke amerika dulu. Karena Ibu pernah sakit jelang keberangkatan saya. Akhirnya saya batalkan. Tapi sekarang Ibu dengan ikhlas bilang’ setyo kamu harus capai cita-citamu sekolah yang tinggi dan berbudi pekerti, kelak jadi cerdas dan jadi pemimpin seperti kakekmu”
“ oh ya”?
“ ya Rum, Kakekku dulu penasihat gubernur Rum, Bapak sangat bangga, karena kakek ahli budaya yang dulu sekolah hingga Belanda”
“ wah, nice story”
“ hahaha, kisah-kisah klasik yang terulang di masa depan rum”
“kamu sendiri bagaimana”
“ saya hanya perempuan yang lagi belajar bersyukur dan menikmati hidup mas Setyo”
“ waaah,  begitukah. Saya baru dengar kata-kata seperti ini. Misi hidup yang yang luar biasa dna menyenangkan”
“Tapi kelihatannya tidak seperti itu deh”
“ masa”
“ mungkin kamu orang yang terbiasa aktif dan  sedang  jeda mencari life wisdom”
“ dari mana menyimpulkan seperti itu?”
“ hanya feeling aja”
“ feeling yang strong apa weak”
“Terserah deh, hehehehe”
“ hmm, mungkin bisa seperti itu Yo,  kita  bisa terbang jauh, berkelana hanya untuk kembali mencari jalan pulang dan merasakan kebersamaan dengan orang yang kita cintai itu menyenangkan”
“ waah sepertinya saya harus belajar banyak sama kamu Rum, kata-katamu filosofis banget ya, padahal kita baru bertemu hitungan jam, kena banget”
“ kapan lagi ada waktu, saya seminggu lagi berangkat.
saya antar kamu pulang ya”
“ terimakasih mas, pamit dulu sama ibu”











Edrida Pulungan
Jalan Danau Limboto No.121 Bendungan Hilir
Jakarta Pusat 10210
Hp : 081361780641

 



Program Indonesia–Ubud Writers
& Readers Festival
Jl. Raya Sanggingan Ubud – Indus Restaurant. PO Box 181, Ubud Bali 80571.
Telp : 0361-7808932

 
 





0 comments:

Post a Comment