Monday, December 22, 2014

Antara Rinduku, Ibu dan Ibukota



Antara Rinduku, Ibu dan Ibukota


Aku menutup telepon dengan perasaan campur aduk. Ini kelima kali aku menelpon ibu. Aku khawatir. Ibu memang tak pernah mengeluh, selalu saja menyimpan semua rasa dan gelisah hatinya. Kepergian Bapak sepuluh tahun lalu menjadikan Ibu sosok yang tegardan berhasil mendidik kami tiga orang puterinya.Sedih Nian tidak ada lagi sosok lelaki yang mengayomi kami.

Pagi yang sama seperti biasa. Setelah sholat dhuha di musholla kantor. Saya langsung menelpon ibu sekedar menyakan bagaimana keadaannya dan ibu sedang apa di rumah. Ibu memaqng tinggal sendiri. Kirana adikku menemaninya karena itu Kirana tak pernah mau menerima tawaran kerja selain pekerjaan yang dia dapatkan dari kota kecil bernama kota Sipirok itu. Kira-kira enam jam dari Medan. Ibu memilih sendiri menikmati pension dari hari tuanya di Ruamha peninggalan alamarhum Bapak. Rumah dengan halaman yang agak luasa dan rindang. Karena Bapak menanam pohon Jambu dan manga di depan rumah. Bapak jualah yang membuat kolam ikan kecil didekat serambi rumah. Disanalah biasanya Bapak dan Ibu bercengrama bersama kami anak-anaknya hingga SMU. Selepas itu semua anak-anaknya merantau semua untuk menuntut ilmu di bangku kuliah. Termasuk aku dan dua orang adikku. Aku kuliah di Medan di sebuah universiats negeri ternama, untunglah setidaknya biaya kuliahnya terjangkau dan aku masih bisa pulang kampung. Saat yang paling indah  tentu adalah saat bisa berkumpul dengan Bapak dan Ibu. Menikamati berkumpul dan makan bersama keluarga serta canda tawa yang tak mungkin terlupa.

“ makan kepala ikannya nak, biar cerdas, kata Bapak sambal memberikan Guali kepala ikan kakap ke piringku”
“ ya Pak, kataku tersenyum” sambal makan dengan lahap.
“ aku juga Pak, aku juga Pak, aku juga” teriak adik-adikku sambal berebutan memebrikan piringnya. Sungguh kenangan indah yang tak mungkin kulupa.
Biasanya setelah makan saya akan menuci piring dan Bapak juga biasnya mau membantu menimba air dari sumur belakang. Sambil menyirami kebun jagung kami di halaman belakang. Kota kecilku memang indah sekalai hawanya sejuk, ditengah bukit, ada juga tempat pemandian air panas yang ada disekitar kota kecilku.

Aku juga terharu jika membayangkan semua itu setelah wisudaku yang akhirnya tak bisa didampingi oleh Bapak, dan hanya ibulah yang mendampingi. Karena bapak berpulang ke rahmatullah di hari jum”at yang berkah. Tanpa sakit dan membuat kami sekeluarga kehilangan. Aku pun hanya punya satu sikap, Mendapatkan pekerjaan atau melanjutkan S2. Namun apakah Ibu mengizinkanku. Kasihan ibu tinggal sendiri. Namun apa yang bisa dilakukan di kota kecil , kampungku masih minim perusahaan, bahkan rata-rata alumni universitas berpikirnay praktis dan mencoba melamar PNS karen adianggap sebagai pekerjaan dengan adanya jaminan hari tua yakni pensiun. Terus terang aku masih ingin mendapat banyak pengalaman. Dan artinya aku haru smerantau lagi. Kemana aku tak tahu.

Aku pandangi laptop Hawlett packardku, kulihat ada email masuk, Forward dari Rio sahabatku di kampus. Isinya aplikasi beasiswa S2 ke Jakarta”
Aku tak berminat. Bagiku Jakarta tak menarik. Lebih baik merantau jauh, melintas benua. Pikirku. Namun ada juruusan yang sangat kuingin pleajar. Hubungan Internasional. Hmm, aku isi beberapa aplikasi dan langsung mengirimkannya.
Suatu sore ibu berbicara di beranda
“ perempuan sejatinya akan jadi ibu, taka pa engkau menuntut ilmu, dan karirmu yang tinggi, asal jangan lupa berkeluarga ya nak”
“iya bu”
“terkadang gelar, dan karir bisa diraih setelah berkeluarga, yapi yang penting jangan lupa, dan ibu juga merasa lebih baik mengabdi untuk keluarga, menjaga anak-anak dan mengurus suami”
“ iya Bu” kataku tanpa berdebat. Aku menghargai sikap ibu, dan begitulah ibu adanya, Meski kutahu bagi perempuan sepertiku di zaman ini semua butuh waktu memahaminya.


**
 Seminggu berlalu. Aku menerima email balasan : interview Universitas Prasetay Jkarta”/ mataku terbelalak membacanya , aku lolos berkas, Artinya harus ke Jakarta esok hari. Aku menelpon ibu dan kudengar suaranya yang lirih, Agak berat dan terisak. Aku merasa menyesal mengabarkan kepergianku kejakarta,tapi ibu berkata” kemanapun engkau pergi nak, pergilah dengan hatimu”
Aku menangis terisak pilu. Begitupun Ibu . aku membiarkan airmataku menetes, ponsel terjatuh dari tanganku.
**

Jakarta.Kota yang tak pernah mati,Jakarta juga yang menghidupkan mimpi-mimpiku menjadi utuh. Lalu aku merasa semua terasa seperti lumpuh ketika aku kadang diam dalam letihku, berteriak dalam gelisahku. Aku merasa mati di kota yang menawarkan banyak impian dan harapan, Aku hanya ingin kembali merekat kenangan bersama Ibu yang membuatku merasa utuh dalam sepiku. Aku tahu gelisahnya selalu membuatku terdiam. Harapannya hanya ingin melihatku bahagia dan kelak menikah. Namun aku sudah menyimpan duka menjadi paripurna. Kala lelaki yang kuanggap kelak jadi bagian hidupku meninggalkanku dengan kebohongan yang akhirnya terbuka juga. Lebih baik aku mengalah karena kesetiaan bagiku bagaikan mata koin emas, sama halnya dengan almarhum Bapkku yang setia pada Ibu meski pernah bertugas keluar kota selama dua tahun.
**
Aku begitu cantik dengan kebaya merah muda dan make up sederhana di hari wisudaku. Aku didampingi ibu dalam prosesi wisuda. Rasanya bahagia dan haru meski tak ada ayah bersama. Namun semuanya sudah  terjawab sudah. Inilah sepotong bahagiaku di ibukota bersama Ibu.
“ selamat anakku Mondang, almarhum Bapak pasti bangga dengan pencapaiannmu”
“iya bu, kataku menangis sambal memeluknya haru”
**
Tepat dua tahun juga berlalu inilah aku Rumondang Nauli, SE. M.Si, Aku berhasil menuntaskan program masterku. Namun aku merasa semakin asing, Kepalaku penuh dengan banyak teori namun aku sejatinya merasa kesepian di ibukota. Tiada kebersamaan dnegan ibu yang sellau mendengar keluh kesahku. Aku selalu bertempur dengan wektu mengejar kemacetan ibukota. Bahkan meraskan rindu yang terpenjara, hatiku yang tidak terbebaskan dengan setiap pencapaian yang aku punya. Sebenarnya aku cuma rindu pelukan ibu yang sellau ada dalam suka dan dukaku.
 Aku rumondang seorang gadis dari perbukitan yang kini menjadi seorang istri dan ibu dari anak kemabrku. Aku menemukan pujaan hatiku, seorang guru yang sederhana yang mengajar di sebuah madrasyah.


Edrida Pulungan * Penulis 14 buku. Memenangkan lomba Poetry slam 10 tahun Puisi Jerman, dan tinggal dan menetap di Jakarta.

0 comments:

Post a Comment