Antara Rinduku, Ibu dan Ibukota
Aku
menutup telepon dengan perasaan campur aduk. Ini kelima kali aku menelpon ibu.
Aku khawatir. Ibu memang tak pernah mengeluh, selalu saja menyimpan semua rasa
dan gelisah hatinya. Kepergian Bapak sepuluh tahun lalu menjadikan Ibu sosok
yang tegardan berhasil mendidik kami tiga orang puterinya.Sedih Nian tidak ada
lagi sosok lelaki yang mengayomi kami.
Pagi
yang sama seperti biasa. Setelah sholat dhuha di musholla kantor. Saya langsung
menelpon ibu sekedar menyakan bagaimana keadaannya dan ibu sedang apa di rumah.
Ibu memaqng tinggal sendiri. Kirana adikku menemaninya karena itu Kirana tak
pernah mau menerima tawaran kerja selain pekerjaan yang dia dapatkan dari kota
kecil bernama kota Sipirok itu. Kira-kira enam jam dari Medan. Ibu memilih
sendiri menikmati pension dari hari tuanya di Ruamha peninggalan alamarhum
Bapak. Rumah dengan halaman yang agak luasa dan rindang. Karena Bapak menanam
pohon Jambu dan manga di depan rumah. Bapak jualah yang membuat kolam ikan
kecil didekat serambi rumah. Disanalah biasanya Bapak dan Ibu bercengrama
bersama kami anak-anaknya hingga SMU. Selepas itu semua anak-anaknya merantau
semua untuk menuntut ilmu di bangku kuliah. Termasuk aku dan dua orang adikku.
Aku kuliah di Medan di sebuah universiats negeri ternama, untunglah setidaknya
biaya kuliahnya terjangkau dan aku masih bisa pulang kampung. Saat yang paling
indah tentu adalah saat bisa berkumpul
dengan Bapak dan Ibu. Menikamati berkumpul dan makan bersama keluarga serta
canda tawa yang tak mungkin terlupa.
“
makan kepala ikannya nak, biar cerdas, kata Bapak sambal memberikan Guali
kepala ikan kakap ke piringku”
“
ya Pak, kataku tersenyum” sambal makan dengan lahap.
“
aku juga Pak, aku juga Pak, aku juga” teriak adik-adikku sambal berebutan
memebrikan piringnya. Sungguh kenangan indah yang tak mungkin kulupa.
Biasanya
setelah makan saya akan menuci piring dan Bapak juga biasnya mau membantu
menimba air dari sumur belakang. Sambil menyirami kebun jagung kami di halaman
belakang. Kota kecilku memang indah sekalai hawanya sejuk, ditengah bukit, ada
juga tempat pemandian air panas yang ada disekitar kota kecilku.
Aku
juga terharu jika membayangkan semua itu setelah wisudaku yang akhirnya tak
bisa didampingi oleh Bapak, dan hanya ibulah yang mendampingi. Karena bapak
berpulang ke rahmatullah di hari jum”at yang berkah. Tanpa sakit dan membuat
kami sekeluarga kehilangan. Aku pun hanya punya satu sikap, Mendapatkan
pekerjaan atau melanjutkan S2. Namun apakah Ibu mengizinkanku. Kasihan ibu
tinggal sendiri. Namun apa yang bisa dilakukan di kota kecil , kampungku masih
minim perusahaan, bahkan rata-rata alumni universitas berpikirnay praktis dan
mencoba melamar PNS karen adianggap sebagai pekerjaan dengan adanya jaminan hari
tua yakni pensiun. Terus terang aku masih ingin mendapat banyak pengalaman. Dan
artinya aku haru smerantau lagi. Kemana aku tak tahu.
Aku
pandangi laptop Hawlett packardku, kulihat ada email masuk, Forward dari Rio
sahabatku di kampus. Isinya aplikasi beasiswa S2 ke Jakarta”
Aku
tak berminat. Bagiku Jakarta tak menarik. Lebih baik merantau jauh, melintas
benua. Pikirku. Namun ada juruusan yang sangat kuingin pleajar. Hubungan
Internasional. Hmm, aku isi beberapa aplikasi dan langsung mengirimkannya.
Suatu
sore ibu berbicara di beranda
“
perempuan sejatinya akan jadi ibu, taka pa engkau menuntut ilmu, dan karirmu
yang tinggi, asal jangan lupa berkeluarga ya nak”
“iya
bu”
“terkadang
gelar, dan karir bisa diraih setelah berkeluarga, yapi yang penting jangan lupa,
dan ibu juga merasa lebih baik mengabdi untuk keluarga, menjaga anak-anak dan
mengurus suami”
“
iya Bu” kataku tanpa berdebat. Aku menghargai sikap ibu, dan begitulah ibu
adanya, Meski kutahu bagi perempuan sepertiku di zaman ini semua butuh waktu
memahaminya.
**
Seminggu berlalu. Aku menerima email balasan :
interview Universitas Prasetay Jkarta”/ mataku terbelalak membacanya , aku
lolos berkas, Artinya harus ke Jakarta esok hari. Aku menelpon ibu dan kudengar
suaranya yang lirih, Agak berat dan terisak. Aku merasa menyesal mengabarkan
kepergianku kejakarta,tapi ibu berkata” kemanapun engkau pergi nak, pergilah
dengan hatimu”
Aku
menangis terisak pilu. Begitupun Ibu . aku membiarkan airmataku menetes, ponsel
terjatuh dari tanganku.
**
Jakarta.Kota
yang tak pernah mati,Jakarta juga yang menghidupkan mimpi-mimpiku menjadi utuh.
Lalu aku merasa semua terasa seperti lumpuh ketika aku kadang diam dalam
letihku, berteriak dalam gelisahku. Aku merasa mati di kota yang menawarkan
banyak impian dan harapan, Aku hanya ingin kembali merekat kenangan bersama Ibu
yang membuatku merasa utuh dalam sepiku. Aku tahu gelisahnya selalu membuatku
terdiam. Harapannya hanya ingin melihatku bahagia dan kelak menikah. Namun aku
sudah menyimpan duka menjadi paripurna. Kala lelaki yang kuanggap kelak jadi
bagian hidupku meninggalkanku dengan kebohongan yang akhirnya terbuka juga.
Lebih baik aku mengalah karena kesetiaan bagiku bagaikan mata koin emas, sama
halnya dengan almarhum Bapkku yang setia pada Ibu meski pernah bertugas keluar
kota selama dua tahun.
**
Aku
begitu cantik dengan kebaya merah muda dan make up sederhana di hari wisudaku.
Aku didampingi ibu dalam prosesi wisuda. Rasanya bahagia dan haru meski tak ada
ayah bersama. Namun semuanya sudah
terjawab sudah. Inilah sepotong bahagiaku di ibukota bersama Ibu.
“
selamat anakku Mondang, almarhum Bapak pasti bangga dengan pencapaiannmu”
“iya
bu, kataku menangis sambal memeluknya haru”
**
Tepat
dua tahun juga berlalu inilah aku Rumondang Nauli, SE. M.Si, Aku berhasil
menuntaskan program masterku. Namun aku merasa semakin asing, Kepalaku penuh
dengan banyak teori namun aku sejatinya merasa kesepian di ibukota. Tiada
kebersamaan dnegan ibu yang sellau mendengar keluh kesahku. Aku selalu
bertempur dengan wektu mengejar kemacetan ibukota. Bahkan meraskan rindu yang
terpenjara, hatiku yang tidak terbebaskan dengan setiap pencapaian yang aku
punya. Sebenarnya aku cuma rindu pelukan ibu yang sellau ada dalam suka dan
dukaku.
Aku rumondang seorang gadis dari perbukitan
yang kini menjadi seorang istri dan ibu dari anak kemabrku. Aku menemukan
pujaan hatiku, seorang guru yang sederhana yang mengajar di sebuah madrasyah.
Edrida
Pulungan * Penulis 14 buku. Memenangkan lomba Poetry slam 10 tahun Puisi
Jerman, dan tinggal dan menetap di Jakarta.
0 comments:
Post a Comment