Dua Hati Tak Cukup
Untuk Cinta
Oleh : Edrida
Pulungan
Sepersekian
detik arum menarik nafas. Ada rasa gelisah dan lelah dihatinya. Keraguannya
selama ini terjawab sudah. Jawaban-jawaban Pras di bbm chat mereka sudah
sangat clear. Pras memang jarang menelepon, bbm chatnya juga sering
lambat merespon. Arum seolah merasa tersudut karena harus menanyakan kemana
arah hubungannya dengan Pras. Karena mereka sudah mulai empat bulan
berkomunikasi intens. Pras juga tak pernah menyampaikan maksutnya secara
jelas kepada Arum kecuali soal pekerjaan dan bisnis-bisnis yang dijalaninya,
bahkan cerita tentang organisasi atau komunitas sosialitanya. Bagi Arum sifat
Pras yang terlalu workaholic membuat mereka tak pernah bisa mengambil
waktu bicara serius tentang hubungan mereka. Pram dan Arum sebenarnya dua sosok
yang karakternya persis sama. Keduanya sama-sama aktif, peduli
keluarga, pekerja keras dan suka travelling. Namun persamaan diantara mereka
belum mampu menautkan dua hati.
Arum
yang sudah pernah menjadi seorang seorang sekretaris executive di perusahaan
oil dan gas akhirnya mengundurkan diri. Perempuan yang sudah berkarir 10 tahun
itu melepaskan posisinya agar bisa menjalani hidup lebih normal dan seimbang.
Akhirnya ia memutuskan pulang kembali ke kampong halamanya Joga untuk
menemani ibu di masa tuanya juga membantu usaha batik ibunya, sambal merawat
ayahnya yang mulai sepuh dan sakit diabetes.
Namun
dibalik semua itu Arum mencoba membuka hati, memberi ruang dan membiarkan waktu
melebur dalam kehidupannya yang baru. Arum memulai hidupnya di jogja dan
melupakan Pras
**
“perjalanan
kita ini kemana arahnya mas Pras, saya takut menjalani sesuatu yang tak ada
tujuannya”
“
arah pembicaraan kita kemana ya”?
Pras
seolah cuek dan tak mengerti.
Arum
menahan rasa emosi dan resahnya. Bagaimanapun butuh keberanian bertanya pada
seorang laki-laki dewasa, namun lebih baik baginya untuk memenemukan titik
terang daripada dalam gelap dan perasaan yang pengap. Arum bertanya karena
selama ini komunikasi mereka lancar saja dan sering diskusi dan berbagi banyak
hal. Bagi Arum itu awal yang bagus, dan Pras pernah mengawali perkenalan merak
dengan kalimat sakral” bismillah”. Bagi Arum itu sudah jadi fondasi yang
baik untuk melangkah.Baginya bismillah itu adalah melibatkan Allah dalam
hubungan mereka. Meskipun tidak selamanya demikian. Allah lah yang
membolak-balik hati masnusia. Arum mencoba bersabar dan mengerti itu.
Tapi
entah mengapa dia tak bisa melupakan Pras. Sosok yang dikenalkan oleh Ratih
sahabatnya sebelum Ratih meninggalkan Jogja untuk mengikuti suaminya selepas
menikah dan bermukim di Austria. Tapi lucunya Ratih sempat mengingatkan bahwa
Pras sosok yang sangat pemilih, jadi jangan juga terlalu berharap. Tawaran yang
sangat lucu dari Ratih. Akhirnya Arum mau memberikan nomer hp nya kepada Pras
melalui Ratih. Dan komunikasi meraka mulai terjalin.
Namun
ucapan Pras yang tanpa kepastian membuat Arum merasa terhempas. Pras mengatakan
hanya tiga kata saja dengan datar. Kita jalani aja, kita butuh
pendekatan lagi”. Gubraaak. Seperti itukah. Arum selama ini sudah sangat
terbuka. Bagi Arum itu sama saja dengan memperhalus bahasa penolakan Pras saja.
Lelaki
itu ternyata pemberi harapan palsu. Arum merasa semua sudah usai
dan tidak mau lagi berputar-putar dalam hubungan tanpa kejelasan. Apalagi Pras
tidak memberikan satu perkataanpun yang mengarah pada komitmen menuju
pernikahan.Waktu yang sangat sia-sia dengan orang yang tidak tepat.
Arum
diam dalam kelam. Mencoba tersenyum. Menikmati rasa kecewa terkadang bisa
mengembalikan kelembutan hatinya. Ada pelajaran baru yang dia dapatkan.
Menerima sesuatu yang terjadi begitu saja tanpa berupaya memperjuangkannya
kadang lebih melegakan. Arum tak berniat membuka ruang hati dan
berkomunikasi klagi dnegan Pras. Cukup sudah. Karena baginya cinta adalah kado
istimewa dari Tuhan atas dua hati dan tidak bisa dipaksa dan direkayasa untuk
mendapatkannya. Jika ngotot juga hasilnya tak akan baik. Bagai mengayuh dayung
seorang diri.
Arum
menarik nafas, dia merenung lebih baik menemukan sepotong hati yang utuh
baginya. Seperti suara lagu yang dia dengar dari Club Eighties “ Dari Hati”
Semua
memang harus dari hati dan Arum harus sadar Pras tak punya hati untuknya
apalagi cinta. Mungkin bagi Arum menemukan cinta sejati sama dengan menemukan
frekwensi yang tepat di radio diantara banyak gelombang. Maka suara yang jelas
kana terdengar enak dan indah di telinga, jika frekwensinya tak tepat suara
akan samar dan nyaris tak terdengar. Begitu juga dengan cinta harus dalam dua
frekwensi hati yang sama. Butuh waktu. “Time will heals the wound.”
::
Arum
mencoba realistis. Toh bagi Arum tak ada lagi yang dia kejar. Tabungannya
selama bekerja cukup untuk kehidupannya beberapa tahun kedepan untuk mulai
bekeja lagi dengan aktifitas baru di Jogja. Begitu juga dengan adik-adiknya
yang sudah mulai mandiri dan bekerja setelah lulus kuliah. Meskipun dulu Arum benar-benar
berjuang dan bekerja keras untuk membantu adik-adiknya sekolah. HInga akhirnya
semua mereka sarjana dan tiga diantara liam adiknya sudah menikah.
Kini
saatnya bagi arum menikmati waktunya memikirkan dirinya sendiri. Keluarga besar
banyak yang nmenginginkan dia menikah. Namun arum menahan diri untuk
tetap sabar emnaggapi omongan yang kadang begitu pedas di telinga.
Bagi
arum pertanyaan itu tidak terlalu dia pusingkan. Karena pernikahan baginya
bukan lomba lari yang harus lebih dulu mencapai garis finish. Kadang cinta
datang terlambat dan kadang dating begitu cepat. Hanya butuh hati yang siap
ketika cinta datang dan pergi. Arum menemukan hatinya kembali dalam jeda.
Mengobati sisa luka. Inilah waktu yang pas bagi Arum untuk move away memang
Usianya sudah kepala tiga tak ada kamus pacar-pacaran lagi baginya yang ada
hanya menunggu lelaki yang berkomitmen jadi calon suaminya.
**
Arum
membersihkan layar percakapannya dengan Pras di BB nya semalam. Daripada
terkenang sesuatu yang hilang. Toh Pras juga tak menelponnya. Sama saja dengan
menganggap Arum baginya hanya teman biasa. Bagi Arum semua seperti cerita
komedi bukan cerita tragedi lagi. Bukankah dulu dia juga tak mengenal lelaki
itu, tiba-tiba saja laki-laki yang dia suka suara tawanya itu “ngontrak” di
pikirannya tanpa bayar. Arum tersenyum dan membuka jendela kamarnya. Masih
pagi. Suara ayam terdengar nyaring, Dia mau membantu si mbok menyiapkan sarapan
nasi kuning buat Bapaknya.
Bangun
lebih pagi tanpa ada yang dikejar dan diburu, bahkan taka da macet adalah satu
kesyukuran baginya yang tinggal agak di pinggir kota jogaja.
Jogja
begitu indah di kala pagi. Sisa kabut belum hilang bersanding dengan
pemandangan gunung yang indah didepan mata. Simponi alam yang terlupa dan dekat
dengan manusia.
Arum
membidik beberapa shot dari Nikon 3100 mengabadikan musisi jalanan yang sedang
menghibur orang-orangsarapan sedang menikmati lontong sayur dan pecel lele
diangkringan. Sejenak dia merasa bahagia bisa menikmati suasana kota. Dulu saat
menjadi sekretaris bos, kerjanya sampai malam. Mulai dari breakfast meeting
sampai dinner meeting dan report-report yang harus dikerjakan tuntas dengan deadline
yang begitu banyak karena perusahaannya mulai besar dan ekspansi keluar negeri.
Dan sekarang waktu begitu lambat di kotanya, Jogjakarta.
**
Arum
masih semangat menjepret beberap shoot. Tiba-tiba dia menyenggol seorang Ibu
dengan keranjang belanjaannya di pasar umbul Harjo. Langsung Arum jongkok dan
memungut sayur-sayuran dan buah yang berserakan dari keranjangnya.
“
Taka apa nak, saya yang buru-buru”
“
maaf Ibu, ibu mau kemana”?
“
rumah saya dekat cuma 50 meter ke utara”
“
oh saya bantu aja ya bu, gimana”
“
wah ndak apa toh, saya memang buru-buru harus masak, anak saya baru lulus
sekolah keluar, Jadi buat acara syukuran biasa”
“oh
senang sekali bu, mari saya bantu”
Arum
menninjing sayuran ditangannya dan memegang tangan ibu tua yang baruu
ditabraknya meneybrang jalan yang mulai rame.
“
makasih, makasih nak, kita sudah dekat lewat gang kecil ini”
Arum
sampai juga di rumah kayu berlantai dua yang asri dengan halaman yang agak
luas. Ada dipan sederhana dan tanaman buah jambu air di depannya. sesekali juga
terdengar kicauan burung dari pojok ruangan samping. Rumah yang teduh dan
nyaman. Seorang sosok laki-laki terburu-buru keluar dan mengambil keranjang
dari tangan ibunya. Perawakannya tinggi, rambutnya agak pirang, sorot matanya
teduh namun agak tajam memandangi Arum.
“nak
ini anak saya, kenalkan namanya Setyo”
“
arum ms”
“
Oh Arum”
“
saya Setyo”
“Tadi
nak Arum jumpa di pasar dan ibu terburu-buru, belanjaan ibu jatuh, nak arum mau
ngantarin kemari Yo”
“
Oh gitu Bu. Makasih Arum, silahkan masuk, maaf masih bernatakan ya. saya lagi
berkemas-kemas nih, dan gak ahli klu masukin baju, semua mau dimasukin. tetap
aja ada yang kurang, hehehe”
“
nanti aja ibu yang beresin yo. ayo kamu ngobrol aja sama Arum, ibu ke dapur
dulu ya buatin teh”
“
duh bu gak usah repot-repot. Saya bantu ibu aja masak” jawab arum singkat
“
emang bisa masak” kata Setyo setengah tak percaya dengan alisnya yang hampir
bertaut melihat tangan arum yang baru disalaminya halus mulus dan tidak kasar
seperti tangan ibunya yang berhati lembut itu.
“
ya bisa sedikit walaupun tak sekelas chef bintang lima lah mas” kata arum
bergurau memancing tawa diantara mereka.
“
nak arum ini lucu juga ya, mari sama Ibu”
“
Saya boleh ikutan Bu” Tanya setyo
“Setyo
malah goreng tahu kemarin hangus, rum?
“hehhehe,
jangan buka rahasia dong Bu”
Sebentar
Setyo ganti baju dulu ya bu”
**
Arum
merasa senang pengalaman baru hari ini. Rupanya Setyo anak satu-satunya dan
Ayahnya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Setyolah yang selama ini
menjaga ibunya. Kuliah dan sambil bekerja di sebuah LSM lokal. Namun siapa
sangka sosok lelaki sederhana dan humoris itu akan mengambil kuliah doktoralnya
di Austria, negeri Eropa yang sangat indah dengan kulaitas pendidikan terbaik
untuk ilmu humaniora. Negara yang pernah dia kunjungi untuk presentasi bisnis
lima tahun lalu. Namun kekaguman Arum pada Setyo ditepisnya karena ingatan pada
Pras, ketika dia berharap cinta hadir malah semua berakhir.
**
Arum
menikmati the poci hangat sambal menikmati kicauan burung dui serambi depan
rumah pras.
“
sedang mikirin apa rum”
“
gak ada kok mas”
“
oh ya, terimakasih ya sudah berkunjung ke rumah saya yang sederhana dan bantuin
ibu dari pasar dan masak disini”
“makasih
juga diundang tak langsung buat syukuranmu ya mas, semoga kuliahnya lancar
disana, dan bisa kembali ke jogja”
“makasih
Rum, aku sebenarnya tak pernah tega ninggalin ibu sendiri, ingin kubawa serta
denganku ke Austria. Tapi pasti ibu tak betah karena sudah terbiasa dengan
Jogja dan dia selalu ingin di Jogja dan berada di rumah ini, rumah peninggalan
Bapak dan disini banyak sekali kenangan indah baginya dan bagi saya rum”
“
jadi gimana, kalau ibu tak ikut, tetap studi ke Austria jua”
“
saya sudah pernah menunda beasiswa studi ke amerika dulu. Karena Ibu pernah
sakit jelang keberangkatan saya. Akhirnya saya batalkan. Tapi sekarang Ibu
dengan ikhlas bilang’ setyo kamu harus capai cita-citamu sekolah yang tinggi
dan berbudi pekerti, kelak jadi cerdas dan jadi pemimpin seperti kakekmu”
“
oh ya”?
“
ya Rum, Kakekku dulu penasihat gubernur Rum, Bapak sangat bangga, karena kakek
ahli budaya yang dulu sekolah hingga Belanda”
“
wah, nice story”
“
hahaha, kisah-kisah klasik yang terulang di masa depan rum”
“kamu
sendiri bagaimana”
“
saya hanya perempuan yang lagi belajar bersyukur dan menikmati hidup mas Setyo”
“
waaah, begitukah. Saya baru dengar kata-kata seperti ini. Misi hidup yang
yang luar biasa dna menyenangkan”
“Tapi
kelihatannya tidak seperti itu deh”
“
masa”
“
mungkin kamu orang yang terbiasa aktif dan sedang jeda mencari life
wisdom”
“
dari mana menyimpulkan seperti itu?”
“
hanya feeling aja”
“
feeling yang strong apa weak”
“Terserah
deh, hehehehe”
“
hmm, mungkin bisa seperti itu Yo, kita bisa terbang jauh, berkelana
hanya untuk kembali mencari jalan pulang dan merasakan kebersamaan dengan orang
yang kita cintai itu menyenangkan”
“
waah sepertinya saya harus belajar banyak sama kamu Rum, kata-katamu filosofis
banget ya, padahal kita baru bertemu hitungan jam, kena banget”
“
kapan lagi ada waktu, saya seminggu lagi berangkat.
saya
antar kamu pulang ya”
“
terimakasih mas, pamit dulu sama ibu”
|
||||
|
0 comments:
Post a Comment